Fenomena banjir bandang di Bogor yang berlanjut banjir di Jakarta tersebut akan terus terjadi di masa-masa datang dengan skala yang lebih besar lagi.
Bogor banjir, Jakarta tenggelam. Benar! Dua pekan terakhir Jakarta pun tenggelam karena beberapa wilayah di Bogor banjir. Sejumlah wilayah di Jakarta tenggelam, khususnya yang berdekatan dengan aliran Kali Ciliwung. Banjir di Jakarta memang kronis.
Tapi, jangan menganggap sesuatu yang kronis itu tidak bisa diobati. Jika penyakit kronis saja bisa diobati, apalagi banjir. Gubernur Pemprov DKI Jakarta Fauzi Bowo yang pada kampanyenya mengusung tagline “Serahkan Jakarta pada Ahlinya” niscaya mampu mengatasi penyakit kronis ini asalkan mau. Mau di sini, Pemda harus serius mengatasinya dari pelbagai aspek, baik fi sik, psikis; lokal, maupun regional.
Banjir bandang dahsyat yang melibas kawasan Bogor dan sekitarnya adalah sebuah peringatan yang amat serius: betapa rusaknya lingkungan yang ada di wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopuncur), yang akibatnya “menenggelamkan” Jakarta. Fenomena banjir bandang di Bogor ini baru terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Jika Bogor yang secara geografi s lebih tinggi dari Jakarta tertimpa banjir bandang, lalu apa yang terjadi dengan Jakarta – kota yang selalu mengeluh dan menderita karena kiriman banjir dari Bogor itu? Akibat hujan deras yang mengguyur Bopuncur Jumat (12/2), Bogor pun dilanda banjir bandang.
Padahal, jika kawasan Bopuncur normal, mestinya air hujan tersebut dapat diserap hutanhutan yang ada di wilayah tersebut. Tapi karena hutannya banyak yang gundul dan beralih fungsi menjadi perumahan dan tempat peristirahatan, maka air hujan pun tak dapat ditahan pepohonan hutan dan meluncur bersama lumpur serta bebatuan menjadi banjir bandang. Semua itu menunjukkan satu hal: betapa rusaknya lingkungan dan hutan di kawasan Bopuncur. Sebetulnya, sudah lama diketahui, kawasan hutan di Bopuncur rusak berat. Penyebabnya, orang-orang kaya di Jakarta ramai-ramai membikin rumah kedua dan vila untuk peristirahatan di kawasan tersebut.
Letaknya yang dekat dengan Jakarta – tempat 70 persen peredaran uang di Indonesia menjadikan kawasan sejuk Bopuncur sebagai tempat “rekreasi dan melepas penat” yang favorit bagi the haves di Ibu Kota. Hasilnya, kawasan hutan lindung maupun konservasi di Bopuncur terus menyusut. Tampaknya bukan kebetulan jika Menhut Zulkifl i Hasan dalam beberapa hari terakhir mempersoalkan berdirinya vila-vila milik pejabat di Bopuncur.
Juga bukan kebetulan, hanya beberapa hari setelah Menhut mempersoalkan berdirinya vila-vila di Bopuncur yang tak berizin dan merusak kawasan hutan itu, banjir bandang terjadi. Artinya, jauh hari Menhut sudah “mencium” hal yang tak beres dalam pendirian vila-vila tersebut. Kita tahu, sekian banyak menhut sejak zaman Orde Baru sampai sekarang sudah menyatakan perlunya restorasi lingkungan dan hutan di Bopuncur tersebut. Tapi sayang, instruksi Menhut untuk “merestorasi” lingkungan dan hutan di kawasan Bopuncur itu hanya “ditaati” sekadarnya saja.
Bahkan sering diabaikan. Banyak “orang besar” yang punya vila dan hotel di kawasan itu merasa lebih berkuasa dibanding menhut – apalagi bupati, camat, dan kepala desa. Akibatnya, kerusakan dan perusakan hutan serta lingkungan di Bopuncur terus meningkat dari tahun ke tahun. Rusaknya lahan tersebut kebanyakan disebabkan oleh penebangan dan alih fungsi secara serampangan, termasuk penggunaan lahan untuk bangunan dan persawahan serta perkebunan. Dari data yang dicatat di Departemen Kehutanan (2008) disebutkan sampai sejauh ini, terdapat 83.129,66 hektare lahan kritis di daerah Bopuncur.
Lahan-lahan yang rusak ini, sebagian di antaranya terdapat di kawasan hutan, hutan lindung, dan daerah aliran sungai (DAS). Di seluruh wilayah Bogor, misalnya, dari jumlah lahan yang rusak, Perum Perhutani mencatat sekitar 3.000 hektare hutan rusak berat. Untuk wilayah DAS, jumlah lahan kritisnya hampir separo dari total lahan yang rusak. Lahan di sekitar DAS yang melintasi Kabupaten Bogor sampai pertengahan 2008, misalnya, yang rusak dan kritis mencapai 27 hektare (data dari Balai Penelitian DAS Ciliwung Cisadane). Saat ini, menurut catatan Dephut, sampai akhir tahun 2008, luas lahan kritis yang terdapat di Bopuncur mencapai 83.129,66 hektare.
Sedangkan pemerintah hanya mampu merestorasinya sekitar 10.000 hektare saja tiap tahunnya. Jika saja restorasi lahan kritis itu konsisten dan berjalan secara linier – artinya tanpa ada destruksi lahan lagi – waktu yang dibutuhkan untuk restorasi tersebut sekitar delapan tahun. Apa yang terjadi dalam waktu delapan tahun itu? Kerusakan hutan, lingkungan, dan tanah di Bopuncur justru makin luas. Areal lahan kritis pun niscaya akan bertambah. Dengan demikian, kecepatan restorasi itu niscaya tertinggal dibanding dengan kecepatan perluasan lahan kritisnya.
Ibaratnya, pelari maraton yang kecepatannya hanya 40 km perjam mengejar kereta api yang kecepatannya 100 km perjam. Sekali lagi dampaknya, kerusakan hutan dan lingkungan pun tiap tahun makin besar. Fenomena banjir bandang di Bogor yang berlanjut banjir di Jakarta tersebut akan terus terjadi di masa-masa datang dengan skala yang lebih besar lagi.
Untuk mengatasinya, pemeritah pusat dan daerah harus segera membuat undangundang dan perda yang “revolusioner” untuk memperbaiki kawasan hutan dan lingkungan di Bopuncur. Maklumlah, kawasan Bopuncur memunyai nilai yang amat strategis bagi negara karena letaknya yang dekat dengan Jakarta dan kerusakannya yang berdampak langsung pada kekacauan sosial dan ekonomi di kota yang menjadi simbol Indonesia.
Lalu, cukupkah hanya mengatasi krisis lahan di Bopuncur untuk mengatasi banjir di Jakarta? Tidak. Jakarta pun perlu kerja keras untuk mencegah banjir dengan mengatasi problem dirinya, antara lain mengatasi problem sampah dengan merevitalisasi saluran air dan menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan, mengatasi penurunan permukaan tanah dengan membuat sebanyak mungkin sumur resapan, memperluas daerah resapan dan menanam pohon sebanyak mungkin, mengeruk sungaisungai yang dangkal, membuat waduk di daerah yang sering kena genangan banjir, dan lain-lain.
Banjir, kembali melanda berbagai daerah di seluruh pelosok tanah air. Banjir bukan hanya dipandang sebagai kejadian alam, tapi seringkali terekam dan muncul menjadi tragedi kehidupan yang mengerikan. Banjir bukan sekedar mengganggu kelancaran lalu lintas di berbagai kota, atau menghambat aktivitas kehidupan masyarakat, namun ada juga yang melahirkan berbagai penyakit dan bahkan merenggut korban dan nyawa manusia. Banjir seolah-olah muncul menjadi momok yang menakutkan. Banjir sudah bukan lagi dipersepsikan sebagai masalah daerah, tapi suka atau pun tidak, banjir memang harus kita akui telah tumbuh dan berkembang menjadi masalah nasional, yang tentu saja penanganan nya harus dilakukan secara nasional pula.
Banjir yang saat ini kita hadapi, sebenar nya bukan hal yang sama sekali baru. Sudah sejak lama, banjir selalu hadir di tengah-tengah kehidupan kita, dan selalu saja mengundang masalah yang kelihatan nya tidak pernah tertuntaskan. Kehadiran banjir, seperti nya kita benci, namun juga direstui. Di benci karena banjir identik dengan tamu yang tidak diundang. Direstui, karena memang kita tidak pernah mampu memberi solusi terbaik untuk menjawab nya. Yang lebih memilukan, atau boleh juga disebut memalukan, sekali pun banjir telah berulang-kali terjadi dan menimbulkan banyak korban, tetapi kita seperti nya tidak mampu melahirkan jalan keluar nya. Semua pihak tampak merisaukannya. Semua orang berupaya dan berjuang mencari solusi nya. Hal ini wajar terjadi, karena yang nama nya banjir, bukanlah sebuah rejeki yang ditunggu-tunggu oleh kita. Justru sebalik nya, bila kita mau berkata jujur, banjir adalah "dilema kehidupan" yang dalam tempo sesingkat-singkat nya, harus dapat kita selesaikan.
Semua orang tentu sepakat bahwa yang disebut banjir, mestilah dapat dicarikan solusi cerdas nya. Setiap warga bangsa, pasti diri nya tidak bakal mau rumah nya kebanjiran. Atau ada keluarga nya yang meninggal karena terhanyutkan oleh air bah. Presiden sendiri, pasti tidak akan rela kalau melihat Istana Negara yang menjadi tempat nya berkantor, dilanda banjir. Begitu pun dengan warga desa yang dengan mata kepala nya sendiri, menyaksikan "jembatan penghubung" antara satu desa dengan lain nya "roboh" karena diterjang banjir. Masalah nya adalah mengapa problema yang menjadi kerisauan semua pihak itu, terasa begitu lambat pencarian jalan pintas nya dan bahkan terkesan tidak mampu diselesaikan ? Apakah hal yang demikian dikarenakan ketidak-mampuan kita dalam mencari jalan keluar nya, atau karena faktor lain yang menyebabkan banjir itu harus "melestari" dalam kehidupan ?
Persoalan yang diajukan diatas, sebetul nya cukup menarik untuk dihayati lebih jauh. Benarkah Pemerintah hanya biasa-biasa saja menyikapi nya ? Benarkah Pemerintah hanya memainkan peran sebagai "pemadam kebakaran" saja, dimana begitu ada banjir, maka Pemerintah baru bergerak ? Bukankah akan lebih baik, jika segera dicari akar masalah nya ? Bukankah akan lebih terukur bila kita memiliki data base yang akurat terkait dengan pemetaan daerah banjir di berbagai daerah ? Bukankah di masing-masing daerah kita memiliki perguruan tinggi ? Sudahkah mereka diberi peran, tugas, tanggungjawab dan kewenangan untuk berkreasi dan berinovasi dalam memberi "solusi" banjir di wilayah nya masing-masing ? Atau kah masih belum, mengingat hingga kini pihak Pemerintah masih belum rela untuk memberi kesempatan kepada kalangan perguruan tinggi atau LSM untuk ikut berkiprah dalam mencari solusi banjir ? Atau memang karena pihak Pemerintah nya sendiri yang masih terjebak oleh "autis syndrome" ?
Ya.... Begitulah kondisi nya. Dalam mencari solusi banjir, kita butuh keseriusan. Tekad nya harus tulus dan ikhlas. Jangan dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan yang sifat nya proyek. Jadikan banjir sebagai masalah kita bersama, sehingga penanganan nya pun harus bersifat nasional. Kita tidak boleh menunggu. Kita harus berpacu menjemput waktu. Kita tidak ingin saksikan lagi ada anak-anak yang kehilangan nyawa karena terhanyutkan banjir bandang. Mari kita bahu membahu membuat solusi. Kita tinggalkan wacana. Berbuat dan berbuatlah demi kehidupan yang lebih baik dan sejahtera lagi.
referensi : Scribd.com