Jumat, 03 Desember 2010

FENOMENA BENCANA ALAM DI INDONESIA


Fenomena banjir bandang di Bogor yang berlanjut banjir di Jakarta tersebut akan terus terjadi di masa-masa datang dengan skala yang lebih besar lagi.
Bogor banjir, Jakarta tenggelam. Benar! Dua pekan terakhir Jakarta pun tenggelam karena beberapa wilayah di Bogor banjir. Sejumlah wilayah di Jakarta tenggelam, khususnya yang berdekatan dengan aliran Kali Ciliwung. Banjir di Jakarta memang kronis.
Tapi, jangan menganggap sesuatu yang kronis itu tidak bisa diobati. Jika penyakit kronis saja bisa diobati, apalagi banjir. Gubernur Pemprov DKI Jakarta Fauzi Bowo yang pada kampanyenya mengusung tagline “Serahkan Jakarta pada Ahlinya” niscaya mampu mengatasi penyakit kronis ini asalkan mau. Mau di sini, Pemda harus serius mengatasinya dari pelbagai aspek, baik fi sik, psikis; lokal, maupun regional.
Banjir bandang dahsyat yang melibas kawasan Bogor dan sekitarnya adalah sebuah peringatan yang amat serius: betapa rusaknya lingkungan yang ada di wilayah Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopuncur), yang akibatnya “menenggelamkan” Jakarta. Fenomena banjir bandang di Bogor ini baru terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Jika Bogor yang secara geografi s lebih tinggi dari Jakarta tertimpa banjir bandang, lalu apa yang terjadi dengan Jakarta – kota yang selalu mengeluh dan menderita karena kiriman banjir dari Bogor itu? Akibat hujan deras yang mengguyur Bopuncur Jumat (12/2), Bogor pun dilanda banjir bandang.
Padahal, jika kawasan Bopuncur normal, mestinya air hujan tersebut dapat diserap hutanhutan yang ada di wilayah tersebut. Tapi karena hutannya banyak yang gundul dan beralih fungsi menjadi perumahan dan tempat peristirahatan, maka air hujan pun tak dapat ditahan pepohonan hutan dan meluncur bersama lumpur serta bebatuan menjadi banjir bandang. Semua itu menunjukkan satu hal: betapa rusaknya lingkungan dan hutan di kawasan Bopuncur. Sebetulnya, sudah lama diketahui, kawasan hutan di Bopuncur rusak berat. Penyebabnya, orang-orang kaya di Jakarta ramai-ramai membikin rumah kedua dan vila untuk peristirahatan di kawasan tersebut.
Letaknya yang dekat dengan Jakarta – tempat 70 persen peredaran uang di Indonesia  menjadikan kawasan sejuk Bopuncur sebagai tempat “rekreasi dan melepas penat” yang favorit bagi the haves di Ibu Kota. Hasilnya, kawasan hutan lindung maupun konservasi di Bopuncur terus menyusut. Tampaknya bukan kebetulan jika Menhut Zulkifl i Hasan dalam beberapa hari terakhir mempersoalkan berdirinya vila-vila milik pejabat di Bopuncur.
Juga bukan kebetulan, hanya beberapa hari setelah Menhut mempersoalkan berdirinya vila-vila di Bopuncur yang tak berizin dan merusak kawasan hutan itu, banjir bandang terjadi. Artinya, jauh hari Menhut sudah “mencium” hal yang tak beres dalam pendirian vila-vila tersebut. Kita tahu, sekian banyak menhut sejak zaman Orde Baru sampai sekarang sudah menyatakan perlunya restorasi lingkungan dan hutan di Bopuncur tersebut. Tapi sayang, instruksi Menhut untuk “merestorasi” lingkungan dan hutan di kawasan Bopuncur itu hanya “ditaati” sekadarnya saja.
Bahkan sering diabaikan. Banyak “orang besar” yang punya vila dan hotel di kawasan itu merasa lebih berkuasa dibanding menhut – apalagi bupati, camat, dan kepala desa. Akibatnya, kerusakan dan perusakan hutan serta lingkungan di Bopuncur terus meningkat dari tahun ke tahun. Rusaknya lahan tersebut kebanyakan disebabkan oleh penebangan dan alih fungsi secara serampangan, termasuk penggunaan lahan untuk bangunan dan persawahan serta perkebunan. Dari data yang dicatat di Departemen Kehutanan (2008) disebutkan sampai sejauh ini, terdapat 83.129,66 hektare lahan kritis di daerah Bopuncur.
Lahan-lahan yang rusak ini, sebagian di antaranya terdapat di kawasan hutan, hutan lindung, dan daerah aliran sungai (DAS). Di seluruh wilayah Bogor, misalnya, dari jumlah lahan yang rusak, Perum Perhutani mencatat sekitar 3.000 hektare hutan rusak berat. Untuk wilayah DAS, jumlah lahan kritisnya hampir separo dari total lahan yang rusak. Lahan di sekitar DAS yang melintasi Kabupaten Bogor sampai pertengahan 2008, misalnya, yang rusak dan kritis mencapai 27 hektare (data dari Balai Penelitian DAS Ciliwung Cisadane). Saat ini, menurut catatan Dephut, sampai akhir tahun 2008, luas lahan kritis yang terdapat di Bopuncur mencapai 83.129,66 hektare.    
Sedangkan pemerintah hanya mampu merestorasinya sekitar 10.000 hektare saja tiap tahunnya. Jika saja restorasi lahan kritis itu konsisten dan berjalan secara linier – artinya tanpa ada destruksi lahan lagi – waktu yang dibutuhkan untuk restorasi tersebut sekitar delapan tahun. Apa yang terjadi dalam waktu delapan tahun itu? Kerusakan hutan, lingkungan, dan tanah di Bopuncur justru makin luas. Areal lahan kritis pun niscaya akan bertambah. Dengan demikian, kecepatan restorasi itu niscaya tertinggal dibanding dengan kecepatan perluasan lahan kritisnya.
Ibaratnya, pelari maraton yang kecepatannya hanya 40 km perjam mengejar kereta api yang kecepatannya 100 km perjam. Sekali lagi dampaknya, kerusakan hutan dan lingkungan pun tiap tahun makin besar. Fenomena banjir bandang di Bogor yang berlanjut banjir di Jakarta tersebut akan terus terjadi di masa-masa datang dengan skala yang lebih besar lagi.
Untuk mengatasinya, pemeritah pusat dan daerah harus segera membuat undangundang dan perda yang “revolusioner” untuk memperbaiki kawasan hutan dan lingkungan di Bopuncur. Maklumlah, kawasan Bopuncur memunyai nilai yang amat strategis bagi negara karena letaknya yang dekat dengan Jakarta dan kerusakannya yang berdampak langsung pada kekacauan sosial dan ekonomi di kota yang menjadi simbol Indonesia.
Lalu, cukupkah hanya mengatasi krisis lahan di Bopuncur untuk mengatasi banjir di Jakarta? Tidak. Jakarta pun perlu kerja keras untuk mencegah banjir dengan mengatasi problem dirinya, antara lain mengatasi problem sampah dengan merevitalisasi saluran air dan menyadarkan masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan, mengatasi penurunan permukaan tanah dengan membuat sebanyak mungkin sumur resapan, memperluas daerah resapan dan menanam pohon sebanyak mungkin, mengeruk sungaisungai yang dangkal, membuat waduk di daerah yang sering kena genangan banjir, dan lain-lain.
Banjir, kembali melanda berbagai daerah di seluruh pelosok tanah air. Banjir bukan hanya dipandang sebagai kejadian alam, tapi seringkali terekam dan muncul menjadi tragedi kehidupan yang mengerikan. Banjir bukan sekedar mengganggu kelancaran lalu lintas di berbagai kota, atau menghambat aktivitas kehidupan masyarakat, namun ada juga yang melahirkan berbagai penyakit dan bahkan merenggut korban dan nyawa manusia. Banjir seolah-olah muncul menjadi momok yang menakutkan. Banjir sudah bukan lagi dipersepsikan sebagai masalah daerah, tapi suka atau pun tidak, banjir memang harus kita akui telah tumbuh dan berkembang menjadi masalah nasional, yang tentu saja penanganan nya harus dilakukan secara nasional pula.
Banjir yang saat ini kita hadapi, sebenar nya bukan hal yang sama sekali baru. Sudah sejak lama, banjir selalu hadir di tengah-tengah kehidupan kita, dan selalu saja mengundang masalah yang kelihatan nya tidak pernah tertuntaskan. Kehadiran banjir, seperti nya kita benci, namun juga direstui. Di benci karena banjir identik dengan tamu yang tidak diundang. Direstui, karena memang kita tidak pernah mampu memberi solusi terbaik untuk menjawab nya. Yang lebih memilukan, atau boleh juga disebut memalukan, sekali pun banjir telah berulang-kali terjadi dan menimbulkan banyak korban, tetapi kita seperti nya tidak mampu melahirkan jalan keluar nya. Semua pihak tampak merisaukannya. Semua orang berupaya dan berjuang mencari solusi nya. Hal ini wajar terjadi, karena yang nama nya banjir, bukanlah sebuah rejeki yang ditunggu-tunggu oleh kita. Justru sebalik nya, bila kita mau berkata jujur, banjir adalah "dilema kehidupan" yang dalam tempo sesingkat-singkat nya, harus dapat kita selesaikan.
Semua orang tentu sepakat bahwa yang disebut banjir, mestilah dapat dicarikan solusi cerdas nya. Setiap warga bangsa, pasti diri nya tidak bakal mau rumah nya kebanjiran. Atau ada keluarga nya yang meninggal karena terhanyutkan oleh air bah. Presiden sendiri, pasti tidak akan rela kalau melihat Istana Negara yang menjadi tempat nya berkantor, dilanda banjir. Begitu pun dengan warga desa yang dengan mata kepala nya sendiri, menyaksikan "jembatan penghubung" antara satu desa dengan lain nya "roboh" karena diterjang banjir. Masalah nya adalah mengapa problema yang menjadi kerisauan semua pihak itu, terasa begitu lambat pencarian jalan pintas nya dan bahkan terkesan tidak mampu diselesaikan ? Apakah hal yang demikian dikarenakan ketidak-mampuan kita dalam mencari jalan keluar nya, atau karena faktor lain yang menyebabkan banjir itu harus "melestari" dalam kehidupan ?
Persoalan yang diajukan diatas, sebetul nya cukup menarik untuk dihayati lebih jauh. Benarkah Pemerintah hanya biasa-biasa saja menyikapi nya ? Benarkah Pemerintah hanya memainkan peran sebagai "pemadam kebakaran" saja, dimana begitu ada banjir, maka Pemerintah baru bergerak ? Bukankah akan lebih baik, jika segera dicari akar masalah nya ? Bukankah akan lebih terukur bila kita memiliki data base yang akurat terkait dengan pemetaan daerah banjir di berbagai daerah ? Bukankah di masing-masing daerah kita memiliki perguruan tinggi ? Sudahkah mereka diberi peran, tugas, tanggungjawab dan kewenangan untuk berkreasi dan berinovasi dalam memberi "solusi" banjir di wilayah nya masing-masing ? Atau kah masih belum, mengingat hingga kini pihak Pemerintah masih belum rela untuk memberi kesempatan kepada kalangan perguruan tinggi atau LSM untuk ikut berkiprah dalam mencari solusi banjir ? Atau memang karena pihak Pemerintah nya sendiri yang masih terjebak oleh "autis syndrome" ?
Ya.... Begitulah kondisi nya. Dalam mencari solusi banjir, kita butuh keseriusan. Tekad nya harus tulus dan ikhlas. Jangan dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan yang sifat nya proyek. Jadikan banjir sebagai masalah kita bersama, sehingga penanganan nya pun harus bersifat nasional. Kita tidak boleh menunggu. Kita harus berpacu menjemput waktu. Kita tidak ingin saksikan lagi ada anak-anak yang kehilangan nyawa karena terhanyutkan banjir bandang. Mari kita bahu membahu membuat solusi. Kita tinggalkan wacana. Berbuat dan berbuatlah demi kehidupan yang lebih baik dan sejahtera lagi.

referensi : Scribd.com


Jumat, 26 November 2010

TUGAS IMK

Vending machine
Oleh : Irfan Fauzie 11108033
Lydia Iskandar 11108173


Mesin penjual otomatis ini mempunyai bentuk sepeti minuman kalengan. Pintu kaca transparant untuk melihat jenis minuman yang dijual berbahan anti pecah, karena untuk mengantisipasi terjadinya pencurian dengan memecahkan kaca. Atau jika mesintesebut dirusak maka alarm secara otomatis akan berbunyi. Mesin ini mempunyai baterai, jadi jika listrik mati maka mesin akan tetap menyala dan minuman yang ada didalamnya tetap dingin.
Dengan memasukkan uang logam 500 atau 1000 rupiah sejumlah 5000 rupiah dan menekan tombol , maka anda dapat memilih jenis minuman yang diinginkan dengan menekan tombol yang ada disamping kanan pada setiap tingkatan.






Mesin penjual otomatis ini memiliki dua level tray penerima uang, yaitu tray temporal storage atau tempat penyimpan uang sementara dan tray real storage atau tempat penyimpanan uang non-temporal. Masukan uang pada awalnya akan masuk ke tempat penyimpanan sementara, sampai ditekan tombok OK sebagai tombol verifikasi, tempat penyimpanan sementara ini akan terbuka dan uang akan masuk ke tempat penyimpanan nontemporal. Mekanisme ini ada agar apabila pembeli berubah pikiran dan membatalkan transaksi dengan tombol batal, uang yang keluar adalah uang yang tadi dimasukkan. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan mesin penjual otomatis sebagai mesin penukar uang.

• Switch input

Mesin ini mempunyai 2 switch input, sw 1 untuk mewakili inputan uang  500 rupiah dan sw2 untuk mewakili inputan uang 1000 rupiah.

Rp. 500 (2003)




Nama Uang logam : Uang Logam Bank Indonesia
Seri/ Emisi : Tahun 2003
Pecahan : Rp 500
Jaman/Masa : Jaman RI Kesatuan
Tgl. Penerbitan : 3 November 2003
Tgl. Penarikan Kembali :
Bahan : Alumunium/Bulat
Ukuran :
Diameter : 27.00mm
Tebal : 2.5mm
Berat : 3.10gr
Design Utama
- Depan Gambar Lambang Negara Garuda Pancasila,
- Belakang Gambar Bunga Melati
- Samping Terdiri dari 5 segmen dan masing-masing segmen terdiri dari 10 gerigi



Rp.1000 (2010)



a. bagian muka
1) angka nominal “1000”;
2) pada bagian atas angka nominal “1000” terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila dan tulisan “BANK INDONESIA”, dan pada
bagian bawah angka nominal “1000” terdapat tulisan “RUPIAH”;
b. bagian belakang
1) gambar angklung dengan latar belakang gambar Gedung Sate dan pada bagian atas
dicantumkan tulisan “ANGKLUNG”;
2) pada bagian bawah gambar angklung terdapat angka tahun emisi“2010”;
3) pada bagian tepi uang rupiah terdapat relief titik-titik bulatmelingkar;

c. bagian sisi pada uang rupiah tidak bergerigi (polos).

3. Bahan
Logam uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
a. terbuat dari nickel plated steel;
b. diameter uang rupiah 24,15 ± 0,10 mm;
c. tebal sisi uang rupiah 1,60 ± 0,10 mm;
d. berat uang rupiah 4,5 ± 0,18 gram.

Mesin ini mendeteksi jenis uang yang dimasukkan dari berat dan bahannya, jadi ada sensor yang bisa mendeteksi  hal tersebut.


Selasa, 02 November 2010

cotoh karangan yang membedakan ragam standar dan ragam non standar

karangan ragam standar

Pada suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan, akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
Sambil membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan sombongnya.
“Sombong sekali kamu Kancil, akulah hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha......., mana mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok pagi.
Setelah si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab kalau si kancil memanggil.
Akhirnya hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari. “Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan sudah sampai mana si siput.
Kancil berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput....sudah sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput. Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa dialah pemenang dari perlombaan lari itu.
Betapa terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput. “Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.

Cerita anak ini diceritakan kembali oleh Kak Ghulam Pramudiana

contoh karangan non standar

Kejadian itu hampir satu minggu berlalu, dan kakiku masih saja sakit.

“Ugh.. luka dilutut ini tidak kunjung sembuh..”, begitu celetukku. “Ya memang tidak lekas sembuh, apalagi kamu selalu bergerak”, kata ayahku menyahut.

Hari Jumat yang lalu, aku terjatuh dari sepeda kesayanganku saat melewati tikungan dijalan raya. Memang aku akui, aku sedikit melamun saat mengendarainya. Aku tidak menyadari kalau di daerah tikungan itu banyak pasir yang berserakan.

“Ini sudah ketiga kalinya, pasti kakak mengebut ya..”, ujar adikku.

“Tidak..”, tukasku.

“Mungkin roda depannya sudah tipis, jadi harus diganti yang baru..”, lanjutku.

“Tidak mungkin.. itu kan roda baru..”, jawab ibuku.

Benar juga, roda bagian depan memang tidak begitu tipis. Kalau dipikir ulang, mungkin karena aku tidak konsentrasi melihat jalan raya, jadi kurang hati-hati.

“Kalau begitu, pasti karena jalannya berpasir dan basah..”, ucapku.

“Ah, pasti kamu yang kurang hati-hati..”, kata ayahku.

Begitulah, hingga suatu hari aku bertemu dengan Kusma, sahabatku.

“Huuuh.. sebel!!”, teriak Kusma mendekatiku.

“Kenapa Kus?”, tanyaku.

“Ini nih... kakiku sakit gara-gara Malli..”, lanjutnya.

“Kok bisa?”, tanyaku lagi.

“Iya, dia kan berpapasan denganku dipintu kaca. Sudah tahu aku membawa barang banyak, dia bukannya membukakan pintu, malah mendorong pintunya kearahku. Karena itu, aku mundur kebelakang dan tanpa sengaja tumit kakiku terbentur meja. Sakit deh…”,curhatnya padaku.

Aku hanya menatap Kusma dengan pertanyaan didalam benakku, lalu…

“..Eh.. dia dengan santainya bilang, kenapa Kus.. sakit ya, ups! Kasihan.. ambil hikmahnya ya..”, lanjut Kusma dengan nada sebel.

Sesaat aku termenung. Benar, Malli memang keterlaluan. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu. Tapi disisi lain kalimat Malli mengingatkanku pada sesuatu.

Ambil hikmahnya.

Aku lupa. Karena terlalu sering merintih kesakitan, aku lupa mengambil hikmah dari kecelakaan yang aku alami. Tuhan memberi musibah, bukan untuk disesali atau dirapati. Tapi agar makhluk ciptaannya tetap bersyukur terhadap apa yang Tuhan berikan.

“Ya Tuhan, terima kasih masih memberiku kesempatan untuk hidup. Semoga, luka dilututku ini cepat sembuh. Aku berjanji akan lebih berhati-hati lagi, konsentrasi dalam apapun dan tidak akan menyalahkan sesuatu karena kesalahanku sendiri.. amin”, do’aku sebelum tidur.





Karya: Rodya Yuliani

Senin, 04 Oktober 2010

BAB II RAGAM DAN LARAS BAHASA

BAB II
RAGAM DAN LARAS BAHASA
1. Ragam Dan Laras Bahasa
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, yaitu (1) ragam bahasa lisan, (2) ragam bahasa tulis. Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain
1.1 Ragam Bahasa
Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang alih-alih disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baasa Indonesia ragam baku atau kosa kata bahasa Indonesia baku adalah kosa kata baku bahasa Indonesia, yang memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolok ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi di dalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak tertutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan.
Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak tertutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi anutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Dalam pada itu perlu yang perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980).
Menurut Felicia (2001 : 8), ragam bahasa dibagi berdasarkan :
1.Media pengantarnya atau sarananya, yang terdiri atas :
a. Ragam lisan.
b. Ragam tulis.
Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah; dan ragam lisan yang nonstandar, misalnya dalam percakapan antarteman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya.
Ragam tulis adalah bahasa yang ditulis atau yang tercetak. Ragam tulis pun
dapat berupa ragam tulis yang standar maupun nonstandar. Ragam tulis yang standar kita temukan dalam buku-buku pelajaran, teks, majalah, surat kabar, poster, iklan. Kita juga dapat menemukan ragam tulis nonstandar dalam majalah remaja, iklan, atau poster.
2. Berdasarkan situasi dan pemakaian
Ragam bahasa baku dapat berupa : (1) ragam bahasa baku tulis dan (2) ragam bahasa baku lisan. Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga
kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis.
Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar,
semi standar dan nonstandar.
a. ragam standar,
b. ragam nonstandar,
c. ragam semi standar.
Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan
berdasarkan :
a. topik yang sedang dibahas, b. hubungan antarpembicara, c. medium yang digunakan, d. lingkungan, atau
e. situasi saat pembicaraan terjadi
Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandar :
•penggunaan kata sapaan dan kata ganti,
•penggunaan kata tertentu,
• penggunaan imbuhan,
•penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
•penggunaan fungsi yang lengkap.
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan katasaya atauaku. Dalam ragam nonstandar, kita akan menggunakan kata gue. Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Contoh :
(1) Ibu mengatakan, kita akan pergi besok
(1a) Ibu mengatakan bahwa kita akan pergi besok
Pada contoh (1) merupakan ragam semi standar dan diperbaiki contoh (1a)
yang merupakan ragam standar.


Contoh :
(2) Mereka bekerja keras menyelesaikan pekerjaan itu.
(2a) Mereka bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Kalimat (1) kehilangan kata sambung (bahwa), sedangkan kalimat (2) kehilangan kata depan (untuk). Dalam laras jurnalistik kedua kata ini sering dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semi standar.
Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida,
mau ke mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.”untuk
menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.
1.2 Laras Bahasa
Pada saat digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa masuk dalam berbagai laras sesuai dengan fungsi pemakaiannya. Jadi, laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya. Dalam hal ini kita mengenal iklan, laras ilmiah, laras ilmiah populer, larasfeature, laras komik, laras sastra, yang masih dapat dibagi atas laras cerpen, laras puisi, laras novel, dan sebagainya.
Setiap laras memiliki cirinya sendiri dan memiliki gaya tersendiri. Setiap laras dapat disampaikan secara lisan atau tulis dan dalam bentuk standar, semi standar, atau nonstandar. Laras bahasa yang akan kita bahas dalam kesempatan ini adalah laras ilmiah.
2. Laras llmiah
Dalam uraian di atas dikatakan bahwa setiap laras dapat disampaikan dalam ragam standar, semi standar, atau nonstandar. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan laras ilmiah. Laras ilmiah harus selalu menggunakan ragam standar. Sebuah karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran, fakta, peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu, penyusun atau pembuat karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1981: 1).
Dalam uraian di atas dibedakan antara pengertian realitas dan fakta. Seorang pengarang akan merangkaikan realita kehidupan dalam sebuah cerita, sedangkan seorang penulis akan merangkaikan berbagai fakta dalam sebuah tulisan. Realistis berarti bahwa peristiwa yang diceritakan merupakan hal yang benar dan dapat dengan mudah dibuktikan kebenarannya, tetapi tidak secara langsung dialami oleh penulis. Data realistis dapat berasal dan dokumen, surat keterangan, press release, surat kabar atau sumber bacaan lain, bahkan suatu peristiwa faktual. Faktual berarti bahwa rangkaian peristiwa atau percobaan yang diceritakan benar-benar dilihat, dirasakan, dan dialami oleh penulis (Marahimin, 1994: 378).
Karya ilmiah memiliki tujuan dan khalayak sasaran yang jelas. Meskipun demikian, dalam karya ilmiah, aspek komunikasi tetap memegang peranan utama. Oleh karenanya, berbagai kemungkinan untuk penyampaian yang komunikatif tetap harus dipikirkan. Penulisan karya ilmiah bukan hanya untuk mengekspresikan pikiran tetapi untuk menyampaikan hasil penelitian. Kita harus dapat meyakinkan pembaca akan kebenaran hasil yang kita temukan di lapangan. Dapat pula, kita menumbangkan sebuah teori berdasarkan hasil penelitian kita. Jadi, sebuah karya ilmiah tetap harus dapat secara jelas menyampaikan pesan kepada pembacanya.

Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah
sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988: 15-16).
1. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau
menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
2. Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertianjujur terkandung sikap etik penulisan ilmiah, yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
3. Karya ilmiah disusun secara sistematis, setiap langkah direncanakan
secara terkendali, konseptual, dan prosedural.
4. Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan.
5. Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan
pembuktian berdasarkan suatu hipotesis.
6. Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, tidak bersifat ambisius dan berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif.
7. Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh penyusunan kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu dibiarkan berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa karya
ilmiah memiliki tiga ciri, yaitu :
a. Harus tepat dan tunggal makna, tidak remang nalar atau mendua makna
b. Harus secara tepat mendefinisikan setiap istilah, sifat, dan pengertian yang digunakan, agar tidak menimbulkan kerancuan
atau keraguan
c. Harus singkat, berlandaskan ekonomi bahasa.
Disamping persyaratan tersebut di atas, untuk dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format karangan yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana tertuang dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa publikasi itu kurang valid sebagai terbitan ilmiah (Soehardjan, 1997 : 10). Struktur karya ilmiah (Soehardjan, 1997 : 38) terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka. ISO 5966 (1982) menetapkan agar karya ilmiah terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, pendahuluan, inti tulisan (teori metode, hasil, dan pembahasan), simpulan, dan usulan, ucapan terima kasih, dan daftar pustaka (Soehardjan, 1997 : 38).
3. Ragam Bahasa Keilmuan
Menurut Sunaryo, (1994 : 1), bahwa dalam berkomunikasi, perlu diperhatikan kaidah-kaidah berbahasa, baik yang berkaitan kebenaran kaidah pemakaian bahasa sesuai dengan konteks situasi, kondisi, dan sosio budayanya. Pada saat kita berbahasa, baik lisan maupun tulis, kita selalu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan. Pada saat menulis, misalnya kita selalu memperhatikan siapa pembaca tulisan kita , apa yang kita tulis, apa tujuan tulisan itu, dan di media apa kita menulis. Hal yang perlu mendapat perhatian tersebut merupakan faktor penentu dalam berkomunikasi. Faktor-faktor penentu berkomunikasi meliputi : partisipan, topik, latar, tujuan, dan saluran (lisan atau tulis).
Partisipan tutur ini berupa PI yaitu pembicara/penulis dan P2 yaitu pembaca atau pendengar tutur. Agar pesan yang disampaikan dapat terkomunikasikan dengan baik, maka pembicara atau penulis perlu (a) mengetahui latar belakang pembaca/pendengar, dan (b) memperhatikan hubungan antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca. Hal itu perlu diketahui agar pilihan bentuk bahasa yang digunakan tepat , disamping agar pesannya dapat tersampaikan, agar tidak menyinggung perasaan, menyepelekan, merendahkan dan sejenisnya.
Topik tutur berkenaan dengan masalah apa yang disampaikan penutur ke penanggap penutur. Penyampaian topik tutur dapat dilakukukan secara : (a) naratif (peristiwa, perbuatan, cerita), (b) deskriptif (hal-hal faktual : keadaan, tempat barang, dsb.), (c). ekspositoris, (d) argumentatif dan persuasif.
Ragam bahasa keilmuan mempunyai ciri :
(1) cendekia : bahasa Indonesia keilmuan itu mampu digunakan untuk
mengungkapkan hasil berpikir logis secara tepat.
(2) lugas dan jelas : bahasa Indonesia keilmuan digunakan untuk
menyampaikan gagasan ilmiah secara jelas dan tepat.
(3) gagasan sebagai pangkal tolak : bahasa Indonesia keilmuan digunakan dengan orientasi gagasan. Hal itu berarti penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan, tidak pada penulis.
(4) Formal dan objektif : komunikasi Ilmiah melalui teks ilmiah merupakan komunikasi formal. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa Indonesia keilmuan adalah unsur-unsur bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau resmi. Pada lapis kosa kata dapat ditemukan kata-kata yang berciri formal dan kata-kata yang berciri informal (Syafi’ie, 1992:8-9).
Contoh :
Kata berciri formal Kata berciri informal
Korps korp
Berkata bilang
Karena lantaran
Suku cadang onderdil

4. Laras Ilmiah Populer
Laras ilmiah populer merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi diungkapkan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah populer tidak selalu merupakan hasil penelitian ilmiah. Tulisan itu dapat berupa petunjuk teknis, pengalaman dan pengamatan biasa yang diuraikan dengan metode ilmiah. Jika karya ilmiah harus selalu disajikan dalam ragam bahasa yang standar, karya ilmiah populer dapat disajikan dalam ragam standar, semi standar dan nonstandar. Penyusun karya ilmiah populer akan tetap disebut penulis dan bukan pengarang, karena proses penyusunan karya ilmiah populer sama dengan proses penyusunan karya ilmiah. Pembedaan terjadi hanya dalam cara penyajiannya.
Seperti diuraikan di atas, persyaratan yang berlaku bagi sebuah karya ilmiah berlaku pula bagi karya ilmiah populer. Akan tetapi, dalam karya ilmiah populer terdapat pula persoalan lain, seperti kritik terhadap pemerintah, analisis atas suatu peristiwa yang sedang populer di tengah masyarakat, jalan keluar bagi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, atau sekedar informasi baru yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Jika karya ilmiah memiliki struktur yang baku, tidak demikian halnya dengan karya ilmiah populer. Oleh karena itu, karya ilmiah populer biasanya disajikan melalui media surat kabar dan majalah, biasanya, format penyajiannya mengikuti format yang berlaku dalam laras jurnalistik. Pemilihan topik dan perumusan tema harus dilakukan dengan cermat. Tema itu kemudian dikerjakan dengan jenis karangan tertentu, misalnya narasi, eksposisi, argumentasi, atau deskripsi. Secara lebih rinci lagi, penulis dapat mengembangkan gagasannya dalam berbagai bentuk pengembangan paragraf seperti pola pemecahan masalah, pola kronologis, pola perbandingan, atau pola sudut pandang.

BAB I FUNGSI BAHASA

BAB I
FUNGSI BAHASA

Fungsi bahasa secara umum
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol social.
• Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi.
• Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
• Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.



• Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.


Menurut Hallyday (1992) Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi untuk keperluan:
1)Fungsi instrumental, bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu
2)Fungsi regulatoris, bahasa digunakann untuk mengendalikan prilaku orang lain
3)Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
4)Fungsi personal, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
5)Fungsi heuristik, bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu
6)Fungsi imajinatif, bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi
7)Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi khusus, yaitu:
1)Bahasa resmi kenegaraan
2)Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
3)Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah
4)Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi

Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara mempunyai fungsi:
1)Bahasa resmi kenegaraan
2)Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
3)Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah
4)Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi


Bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga perlu dibakukan atau distandarkan.
1)Ejaan Van Ophuijen (1901)
2)Ejaan Soewandi (1947)
3)Ejaan yang Disempurnakan (EYD, tahun 1972)
4)Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Istilah (1975)
5)Kamus besar Bahasa Indonesia, dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988)

Bahasa Indonesia memiliki fungsi-fungsi yang dimiliki oleh bahasa baku, yaitu:
1)Fungsi pemersatu, bahasa Indonesia memersatukan suku bangsa yang berlatar budaya dan bahasa yang berbeda-beda
2)Fungsi pemberi kekhasan, bahasa baku memperbedakan bahasa itu dengan bahasa yang lain
3)Fungsi penambah kewibawaan, bagi orang yang mahir berbahasa indonesia dengan baik dan benar
4)Fungsi sebagai kerangka acuan, bahasa baku merupakan norma dan kaidah yang menjadi tolok ukur yang disepakati bersama untuk menilai ketepatan penggunaan bahasa atau ragam bahasa

Sabtu, 05 Juni 2010

peranan organisasi pada bank central asia

BAB I
PENDAHULUAN
PT. BANK CENTRAL ASIA Tbk
Krisis finansial multidimensi tahun 1997 di Indonesia bukan sekedar sebuah ancaman bagi kelangsungan hidup bisnis, melainkan juga peluang untuk terus tumbuh dan berkembang. Namun, salah satu perusahaan perbankan, Bank Central Asia (BCA), berhasil melalui krisis itu. Bahkan perusahaan itu pulih dari krisis dengan cepat, dan kemudian menjadikan krisis itu sebagai peluang untuk terus tumbuh dan berkembang. Bahkan, bila dalam periode 1997-1999 terdapat bank bank yang memiliki peluang untuk tetap tumbuh dan berkembang, mereka ini adalah kelompok bank yang sebelum munculnya krisis bersikap pasif dalam aktivitas perbankan sehingga mereka tidak harus menghadapi beban non-performing loans atau negative spread yang besar.
Ini berbeda dengan BCA yang relative tidak terbebanidengan nonperforming loans dan negative spread meski sebelum masa krisis bukan merupakan bank yang pasif dalam perbankan Indonesia. Kendati dikenal sebagai bank paling agresif dalam memperluas bisnisnya sebelum terjadinya krisis, BCA relative bebas dari beban non-performing loans. Karena focus ekspansi
BCA sebelum masa krisis adalah mendapatkan jumlah nasabah sebanyak banyaknya dengan biaya serendah mungkin dan bukan pada ekspansi kredit corporate banking sebagaimana umumnya dilakukan bank-bank nasional. Di samping itu, BCA juga bebas dri persoalannegative spread. Keberhasilannya menjadi bank yang memiliki jumlah penabung paling banyak, diraih dengan menawarkan bunga simpanan yang rendah, bahkan yang terendah di antara bank-bank nasional.
Sukses yang kini diraih BCA itu dilandasi atas pemahaman yang kuat jauh-jauh hari sebelumnya akan peta pasar perbankan Indonesia, suatu sektor yang sangat kompotitif di masa mendatang. Situasi inilah yang mendorong BCA untuk memilih berkonsentrasi pada suatu sigmen pasar khusus dan kemudian membangun kompetensinya sedemikian rupa sehinggadapat mengambil tindakan tindakan yang tepat menghadapi perkembangan prilaku target pasarnya.


A. Sejarah Bank Central Asia
BCA merupakan Bank swasta Nasional yang berdiri pada tanggal 21 Februari 1957 di Pusat Perniagaan Kota dengan nama “Bank Central Asia N.V”. setelah go public pada tahun 2002, BCA kini bernama PT Bank Central Asia, Tbk.
Berdasarkan data pada triwulan I 2009. BCA memiliki 852 kantor cabang di seluruh Indonesia yang terdiri dari 118 Kantor Cabang Utama, 734 Kantor Cabang Pembantu dan 1 Kantor Kas di Rumbai, Riau serta 4019 Anjungan Tunai Mandiri.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai Bank swasta nasional, BCA memiliki visi dan misi dalam mencapai tujuannya, yaitu:
• Visi BCA
Menjadikan BCA sebagai Bank pilihan untuk transaksi perbankan.
• Misi BCA
- Memperkokoh posisi sebagai bank transaksi yang menjadi pilihan nasabah.
- Meningkatkan peran intermediasi keuangan.
- Mengembangkan BCA sebagai lembaga keuangan terkemuka.


Banyak hal telah dilalui sejak saat berdirinya itu, dan barangkali yang paling signifikan adalah krisis moneter yang terjadi di tahun 1997. Krisis ini membawa dampak yang luar biasa pada keseluruhan sistem perbankan di Indonesia. Namun, secara khusus, kondisi ini mempengaruhi aliran dana tunai di BCA dan bahkan sempat mengancam kelanjutannya. Banyak nasabah menjadi panik lalu beramai-ramai menarik dana mereka. Akibatnya, bank terpaksa meminta bantuan dari pemerintah Indonesia. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) lalu mengambil alih BCA di tahun 1998.
Berkat kebijaksanaan bisnis dan pengambilan keputusan yang arif, BCA berhasil pulih kembali dalam tahun yang sama. Di bulan Desember 1998, dana pihak ke tiga telah kembali ke tingkat sebelum krisis. Aset BCA mencapai Rp 67.93 triliun, padahal di bulan Desember 1997 hanya Rp 53.36 triliun. Kepercayaan masyarakat pada BCA telah sepenuhnya pulih, dan BCA diserahkan oleh BPPN ke Bank Indonesia di tahun 2000. Selanjutnya, BCA mengambil langkah besar dengan menjadi perusahaan publik. Penawaran Saham Perdana berlangsung di tahun 2000, dengan menjual saham sebesar 22,55% yang berasal dari divestasi BPPN.
Setelah Penawaran Saham Perdana itu, BPPN masih menguasai 70,30% dari seluruh saham BCA. Penawaran saham ke dua dilaksanakan di bulan Juni dan Juli 2001, dengan BPPN mendivestasikan 10% lagi dari saham miliknya di BCA. Dalam tahun 2002, BPPN melepas 51% dari sahamnya di BCA melalui tender\ penempatan privat yang strategis. Farindo Investment, Ltd., yang berbasis di Mauritius, memenangkan tender tersebut. Saat ini, BCA terus memperkokoh tradisi tata kelola perusahaan yang baik, kepatuhan penuh pada regulasi, pengelolaan risiko secara baik dankomitmen pada nasabahnya baik sebagai bank transaksional maupun sebagai lembaga intermediasi financial.




















BAB II
ISI
A. Pemegang Saham
Komposisi pemegang saham pada tanggal 31 Maret 2010 adalah sebagai berikut:


Pemegang Saham Jumlah Saham Persentase Kepemilikan
FarIndo Investments (Mauritius) Ltd qualitate qua (qq), Sdr. Bambang Hartono dan Sdr. Robert
Budi Hartono *) 11,625,990,000 47.15 %
Anthony Salim 434,079,976 1.76 %
Masyarakat 12,305,173,024 49.91 %
Saham yang dibeli kembali oleh PT Bank Central Asia Tbk (treasury stock) 289,767,000 1.18 %
Jumlah 24,655,010,000 100%

*/ Sesuai dengan surat Bank Indonesia No. 12/21/DPB3/TPB3-7 tanggal 25 Februari 2010, Ultimate Shareholders FarIndo Investments (Mauritius) Ltd ("FarIndo") adalah Sdr. Robert Budi hartono dan Sdr. Bambang Hartono





B. Dewan Komisaris dan Direksi
Daftar Dewan Komisaris dan Direksi untuk masa jabatan mulai 26 Mei 2006 hingga 2008
Dewan Komisaris
1. Presiden Komisaris Eugene Keith Galbraith
2. Komisaris Tonny Kusnadi
3. Komisaris Cyrillus Harinowo*
4. Komisaris ( Independent ) Sigit Pramono
5. Komisaris Raden Pardede*


Eugene Keith Galbraith
Presiden Komisaris
Eugene Keith Galbraith menjabat sebagai Presiden Komisaris BCA sejak 20 Mei 2002.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris PT Bank NISP Tbk (2000-2006), Chairman Asiawise.com dari 1999 sampai 2001, Managing Director ABN-AMRO Asia Securities (1996-1998) dan sebagai Presiden Direktur pada HG Asia Indonesia (1990-1996). Selain itu beliau juga pernah menjadi penasihat Departemen Keuangan (1988-1990) dan penasihat perencanaan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia (1984-1988).
Beliau meraih gelar BA dibidang Filosofi (1974), gelar M. Phil dibidang Sejarah Ekonomi (1978) dan gelar PhD dibidang Antropologi (1983) dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat.



Tonny Kusnadi
Komisaris
Tonny Kusnadi menjabat sebagai Komisaris BCA sejak 25 Juni 2003.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau menjabat sebagai Direktur di PT Cipta Karya Bumi Indah (2001-2002) setelah sebelumnya menempati posisi sebagai Komisaris. Selain itu, beliau pernah memangku berbagai jabatan manajerial di beberapa perusahaan lain, antara lain sebagai Presiden Direktur di PT Sarana Kencana Mulya (1999-2001), Chief Manager Corporate Banking di PT Bank Central Asia (1992-1998), General Manager di PT Tamara Indah (1988-1992) dan General Manager di PT Indomobil (1987).
Beliau meraih gelar Insinyur dari Universitas Brawijaya, Malang, jurusan Teknik Mesin.



Cyrillus Harinowo
Komisaris (Independen)
Cyrillus Harinowo menjabat sebagai Komisaris Independen BCA sejak 25 Juni 2003.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau berkarya di Bank Indonesia (BI) selama kurang lebih dua puluh lima tahun, antara lain sebagai Kepala Urusan Pasar Uang dan Giralisasi dan Urusan Operasi Pengendalian Moneter (1994-1998), dengan posisi terakhir sebagai pejabat setingkat Direktur. Selain itu beliau pernah menjadi Alternate Executive Director dan Technical Assistance Advisor di Monetary and Exchange Affairs Department di International Monetary Fund (IMF), Washington (1998-2003). Selama beberapa periode beliau menjadi anggota delegasi sidang Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan Consultative Group for Indonesia (CGI), serta sidang tahunan IMF dan Bank Dunia.
Beliau juga pernah menjabat berbagai jabatan manajerial di pemerintahan dan nonpemerintahan, dan pernah menjabat sebagai Staf Menteri Perdagangan (1988-1989). Beliau aktif sebagai staf pengajar di beberapa universitas terkemuka di Jakarta, serta menjadi pembicara dan penulis artikel di seminar-seminar maupun forum-forum di dalam dan di luar negeri serta media massa. Beliau menulis buku tentang hutang publik Indonesia (2002), tentang IMF (2004) dan buku “Musim Semi Perekonomian Indonesia” (2005). Beliau menyandang gelar Doktorandus dibidang Akuntansi dari Universitas Gadjah Mada (1977).
Beliau meraih gelar Master Development Economics, Center for Development Economics dari Williams College, Massachusetts (1981), dan Doktor Moneter dan Ekonomi Internasional (1985) dari Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, Amerika Serikat.




Sigit Pramono
Komisaris (Independen)
Sigit Pramono menjabat sebagai Komisaris Independen BCA sejak 20 Agustus 2008.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau menjabat sebagai Presiden Direktur Bank Negara Indonesia (2003 – 2008). Beliau juga pernah memangku berbagai posisi penting di beberapa bank dan lembaga keuangan lainnya, diantaranya sebagai Direktur Utama Bank Internasional Indonesia (2002 – 2003), Senior Vice President of Credit Recovery Bank Mandiri (1999 – 2002), Head of Loan Workout Division Bank Mandiri (1999), Head of Loan Remedial Division Bank Exim (1998 – 1999), dan sebagai Head of Loan Syndication Departement Bank Exim (1997 – 1998).
Beliau memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Diponegoro (1983) dan MBA dalam bidang International Business Management, Prasetiya Mulya Business School (1995).







Raden Pardede
Komisaris (Independen)
Raden Pardede menjabat sebagai Komisaris Independen BCA sejak 15 Mei 2006. Beliau menjabat sebagai Komisaris BCA sejak 6 Mei 2004.
Beliau juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (2004-sekarang). Selain itu beliau pernah memangku berbagai jabatan di beberapa perusahaan dan pemerintahan, antara lain Ketua Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Indonesia (2004-2005), staf khusus Menko Perekonomian RI (2004-2005), Direktur Eksekutif merangkap Chief Economist PT Danareksa (2002-2004), Wakil Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan RI (2000-2004), Chief Economist, Kepala Divisi PT Danareksa (1995-2002), Pendiri Danareksa Research Institute (1995), Konsultan di World Bank (1994-1995), Konsultan di Asian Development Bank (2000-2001), Staf Perencanaan di Departemen Perindustrian RI (1985-1990), Process Engineer di PT Pupuk Kujang/Fertillizer Industry (1985), Pengajar tamu di Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Prasetiya Mulya Business School. Beliau ikut dalam sidang CGI (2000) dan sidang IMF (2001), juga turut memberi sumbangan pikiran dan saran kepada Pemerintah, Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Kantor Wakil Presiden.
Beliau meraih gelar insinyur dari ITB, Bandung, jurusan Teknik Kimia (1984) dan gelar PhD pada bidang Ekonomi (1995) diperoleh dari Boston University, Amerika Serikat.



Dewan Direksi
1. Presiden Direktur Djohan Emir Setijoso
2. Wakil Presiden Direktur Jahja Setiaatmadja
3. Direktur Dhalia Mansor Ariotedjo
4. Direktur Anthony Brent Elam
5. Direktur Subur Tan
6. Direktur Suwignyo Budiman
7. Direktur Renaldo Hector Barros
8. Direktur Henry Koenaifi
9. Direktur Armand Wahyudi Hartono




Djohan Emir Setijoso
Presiden Direktur
Djohan Emir Setijoso menjabat sebagai Presiden Direktur BCA sejak tanggal 29 Desember 1999.
Beliau bertanggung jawab atas audit dan corporate affairs sekaligus menangani perencanaan dan pengendalian keuangan. Sebelum bergabung dengan BCA, beliau pernah memangku berbagai jabatan manajerial termasuk Direktur Pengelola pada Bank Rakyat Indonesia (1965-1998) dan Komisaris Utama pada Inter Pacific Bank (1993-1998). Beliau adalah lulusan Institut Pertanian Bogor.




Jahja Setiaatmadja
Wakil Presiden Direktur
Jahja Setiaatmadja menjabat sebagai Direktur BCA sejak tanggal 29 Desember 1999 dan ditunjuk menjadi Wakil Presiden Direktur sejak tanggal 26 Mei 2005.
Beliau bertanggung jawab atas Divisi Tresuri, Divisi Perbankan Internasional, dan Kantor-kantor di luar negeri. Beliau memangku berbagai jabatan manajerial di BCA sejak tahun 1990.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau menjabat sebagai Direktur Keuangan pada Indomobil (1989-1990) dan memangku berbagai jabatan manajerial sejak 1980 sebelum meninggalkan Grup Kalbe Farma pada tahun 1989 dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Keuangan. Beliau memulai karir di tahun 1979 sebagai akuntan pada perusahaan akuntan (PriceWaterhouse). Beliau memperoleh gelar sarjana dalam bidang Akuntansi dari Universitas Indonesia.




Dhalia Mansor Ariotedjo
Direktur
Dhalia Mansor Ariotedjo menjabat sebagai Direktur BCA sejak 5 Juni 2001. Beliau bertanggung jawab atas Grup Bisnis Korporasi dan Corporate Finance.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau memangku berbagai jabatan manajerial puncak di Citibank, N.A. di Kuala Lumpur dan Jakarta (1982-1992) dan di Chase Manhattan Bank, Jakarta (1992-2001), termasuk sebagai Vice President, Kepala Bagian Lembaga Keuangan, Sektor Pemerintah dan Corporate Trust pada Chase Manhattan Bank, Jakarta (1992-1996), Vice President – Corporate Banking Group pada bank yang sama (1996-1998), Vice President, Investment Banking Group, JP Morgan Chase, Jakarta (1998-2001).
Beliau memperoleh gelar MBA dalam bidang Keuangan dari George Washington University, Washington DC, Amerika Serikat.




Anthony Brent Elam
Direktur
Anthony Brent Elam menjabat sebagai Direktur BCA sejak 20 Mei 2002. Beliau bertanggung jawab atas Manajemen Risiko dan Penyelamatan Kredit.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau menjabat sebagai Staf Ahli Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai advisor pada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (1996-2001), sebagai Vice President pada Dieng Djaya (1994-1996), dan sebagai Vice President Citibank (1986-1994).
Beliau adalah lulusan dari Georgetown University dan memperoleh gelar MBA bidang Keuangan dan Bisnis Internasional dari New York University, Amerika Serikat.




Subur Tan
Direktur
Subur Tan menjabat sebagai Direktur BCA sejak 20 Mei 2002. Beliau bertanggung jawab atas Divisi Sumber Daya Manusia, Divisi Pelatihan dan Pengembangan, Divisi Logistik, serta Hukum dan Kepatuhan.
Sejak bergabung dengan BCA di tahun 1986, beliau telah memangku beberapa jabatan manajerial termasuk sebagai Kepala Bidang Kredit Kantor Pusat Operasional (1991-1995), Kepala Biro Hukum (1995-1999) dan Wakil Kepala Divisi Hukum (1999-2000) dengan posisi terakhir sebagai Kepala Satuan Kerja Hukum.
Beliau menyelesaikan pendidikan terakhirnya dalam program spesialisasi Notariat Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.




Suwignyo Budiman
Direktur
Suwignyo Budiman menjabat sebagai Direktur BCA sejak 20 Mei 2002. Beliau bertanggung jawab atas Bisnis dan Pemasaran Perbankan Cabang yang meliputi Divisi Bisnis Kecil dan Menengah, Divisi Pengembangan Dana dan Jasa, dan Cash Management.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau memulai karirnya sebagai Sistem Analis di Bank Rakyat Indonesia di tahun 1975 dan kemudian memangku berbagai posisi manajerial termasuk Kepala Divisi Teknologi (1992-1995), Staf Khusus Direksi (1995-1996), Pemimpin Wilayah Palembang (1996-1998) dan Kepala Divisi Operasional (1998-2000). Jabatan terakhir beliau adalah Pemimpin Wilayah Jawa Tengah.
Selain itu beliau pernah ditugaskan ke BCA sebagai anggota Tim Kuasa Direksi (Mei 1998-Juli 1998). Beliau meraih gelar MBA dari University of Arizona, Amerika Serikat.




Renaldo Hector Barros
Direktur
Renaldo Hector Barros menjabat sebagai Direktur sejak 8 Februari 2008 setelah sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Independen BCA dari tahun 2003 hingga 2008. Beliau bertanggung jawab terhadap Strategi dan Desain Operasi, Teknologi Informasi dan Enterprise Security.
Sebelumnya, beliau berprofesi sebagai Independent Consultant dengan spesialisasi dibidang sistem operasional perbankan dan teknologi informatika. Beliau pernah menangani proyek konsultasi sistem perbankan di BCA selama beberapa periode (1991-1997, 2000-2003). Proyek-proyek konsultasi lainnya adalah di Lighthouse Management Consulting (2000) dan di Bank of the Orient, San Francisco (1991).
Beliau pernah memangku berbagai posisi manajerial antara lain sebagai Senior Vice President/Chief Operations Officer di United Savings Bank (1987-1990), Regional Vice President di Bank of California (1967-1984). Beliau memulai karir di Crocker National Bank, San Francisco setelah lulus terbaik pada program pelatihan Bank Officer. Setelah lulus dari San Jose State University tahun 1963, beliau meneruskan pendidikannya di berbagai institusi keuangan dan perbankan, terakhir di Pacific Coast Banking School, Seattle, WA, Amerika Serikat (1973).




Henry Koenaifi
Direktur
Beliau menjabat sebagai Direktur PT Bank Central Asia Tbk (“BCA”) sejak tanggal 13 Februari 2008 dan bertanggung jawab atas Unit Bisnis Kredit Konsumer, Unit Bisnis Kartu Kredit dan Personal/Individual Banking serta Pengelolaan Anak (-Anak) Perusahaan (DN) yang bergerak dalam bidang pembiayaan.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT BCA Finance (2000-2008), Koordinator Tim Pengelola PT Bank Bali – BPPN (1999-2000), Tim Pengelola Bank Jaya – BPPN (1999), Direktur Bank Tiara Asia Tbk. (1997-1998) dan Executive Director PT Bank Ciputra (1998). Tahun 1989 -1997, beliau pernah memangku berbagai jabatan manajerial di BCA baik di Kantor Pusat maupun Cabang dan pada tahun 1984 – 1989, beliau pernah menjabat sebagai Marketing Representative di IBM Indonesia.
Beliau memperoleh gelar sarjana dalam bidang Teknik Sipil dari Universitas Katholik Parahyangan dan gelar Magister Manajemen dari IPMI serta MBA dari Monash University, Melbourne, Australia.




Armand Wahyudi Hartono
Direktur
Armand Wahyudi Hartono menjabat sebagai Direktur sejak 14 September 2009. Beliau bertanggung jawab terhadap Operasional dan Pengembangan Jaringan.
Beliau menjabat sebagai Kepala Perencanaan dan Pembinaan Wilayah BCA dari tahun 2004 hingga 2009.
Sebelum bergabung dengan BCA, beliau pernah memangku berbagai jabatan manajerial pada PT Djarum dari tahun 1998 hingga 2004 dengan beberapa posisi sebagai Direktur Keuangan, Deputy Purchasing Director dan Kepala Sumber Daya Manusia.
Beliau pernah menjadi analis pada Global Credit Research and Investment Banking, JP Morgan Singapura dari tahun 1997 hingga 1998. Beliau adalah lulusan Universitas California, San Diego (1996) dan meraih gelar Master of Science di bidang Engineering Economic-System and Operation Research (1997) dari Universitas Stanford, Amerika Serikat.









BAB III
PENUTUP

Dengan adanya sebuah organisasi dalam suatu perusahaan maka sebuah tujuan akan lebih muda tercapai, tentunya dengan adanya kerja sama yang baik antar personil didalam organisasi tersebut.
Saya berharap semoga BCA dapat mewujudkan visi dan misi yang dibuat dengan baik, untuk menjadi bank swasta terbesar dan terpercaya, serta dapat mewujudkan harapan nasabah yaitu menjadi bank swasta yang aman untuk menyimpan uang dan melakukan transaksi perbankan lainnya.

Minggu, 09 Mei 2010

makalah non akademis 3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Isu pemanasan global begitu berkembang akhir-akhir ini. Pemeran utamanya tentu saja manusia dengan berbagai aktivitasnya. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim yang signifikan, seperti yang terjadi di negara kita, efek dari pemanasan ini telah menyebabkan perubahan iklim yang ekstrim. Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor, munculnya angin puting beliung, bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia. Makalah ini akan membahas gambaran umum tentang pemanasan global, peran manusia dalam pemanasan global, dampak, beserta usaha mengendalikan pemanasan global.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana kita mengetahui apa yang dimaksud dengan pemanasan global (Global Warming) serta dampaknya bagi kehidupan manusia, serta mengetahui cara pengendalian atau pencegahan dari pemanasan global ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mempelajari hal yang berkaitan dengan penyebab terjadinya pemanasan global serta kita dapat mengetahui dampak dari pemanasan global tersebut, serta memberikan solusi tentang bagaimana cara untuk mengatasi pemanasan global yang telah terjadi pada saat ini di bumi.

1.4 Metode Penulisan
Secara umum tahapan penulisan dalam makalah tentang pemanasan global adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian kepustakaan untuk mempelajari topik yang berhubungan dengan Global Warming, yang merupakan dasar dari kasus pemanasan global. Penulis mendapatkan bahan untuk makalah ini dari internet maupun dari DVD.
2. Pencarian kasus dan permasalahan dari berbagai macam sumber. Penulis mencoba mengelola dan mempelajari kasus yang ada untuk dapat lebih mudah dalam penganalisisan pemanasan global, sehingga informasi yang dihasilkan dapat berguna untuk pengetahuan.










BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pemanasan Global
Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal. Apa penyebabnya? Meteor jatuh? Variasi panas Matahari? Gunung meletus yang menyebabkan awan asap? Perubahan arah angin akibat perubahan struktur muka Bumi dan arus laut? Atau karena komposisi udara yang berubah? Atau sebab yang lain?
Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Apa itu gas rumah kaca?
Sebetulnya yang dikenal sebagai ‘gas rumah kaca’, adalah suatu efek, dimana molekul-molekul yang ada di atmosfer kita bersifat seperti memberi efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, sekitar 30°C, atau kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.
Pada sekitar tahun 1820, bapak Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar, radiasi merah-infra yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).
Tiga puluh tahun kemudian, bapak Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang. Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.
Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.
Tetapi, atmosfer tidaklah sesederhana model perhitungan tersebut, kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.
Sejak tahun 2001, studi-studi mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak, dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 3°C semenjak jaman pra-industri, itu saja jika bisa menekan konsentrasi gas rumah kaca supaya stabil pada 430 ppm CO2e (ppm = part per million = per satu juta ekivalen CO2 - yang menyatakan rasio jumlah molekul gas CO2 per satu juta udara kering). Yang pasti, sejak 1900, maka Bumi telah mengalami pemanasan sebesar 0,7°C.
Lalu, jika memang terjadi pemanasan, sebagaimana disebut; yang kemudian dikenal sebagai pemanasan global, (atau dalam istilah populer bahasa Inggris, kita sebut sebagai Global Warming): Apakah merupakan fenomena alam yang tidak terhindarkan? Atau ada suatu sebab yang signfikan, sehingga menjadi ‘populer’ seperti sekarang ini? Apakah karena Al Gore dengan filmnya “An Inconvenient Truth” yang mempopulerkan global warming? Tentunya tidak sesederhana itu.
Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Temperatur rata-rata global 1850 sampai 2006 relatif terhadap 1961–1990

Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada temperatur rata-rata dari 1940 sampai 1980

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Secara umum pemanasan global didefinisikan dengan meningkatkan suhu permukaan bumi oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Meski suhu lokal berubah-ubah secara alami, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir suhu global cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan data yang terrekam sebelumnya. Dan sepuluh tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990.
Seperti yang telah kita ketahui segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata bumi terus meningkat.
Pemanasan global juga sering dikaitkan dengan perubahan iklim. Trenberth, Houghton and Filho (1995) dalam Hidayati (2001) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang. Menurut Effendy (2001) salah satu akibat dari penyimpangan iklim adalah terjadinya fenomena El-Nino dan La-Nina. Fenomena El-Nino akan menyebabkan penurunan jumlah curah hujan jauh di bawah normal untuk beberapa daerah di Indonesia. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat fenomena La-Nina berlangsung.


2.2 Penyebab pemanasan global
2.2.1 Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Menurut Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang termasuk dalam gas rumah kaca diantaranya CO2, NO2, CH4, SF6, PFCs, dan HFCs. CO2, NO2, dan CH4 sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil baik dari sektor industri maupun dari transportasi. Sementara SF6, PFCs, dan HFCs sebagian besar merupakan hasil pemakaian aerosol. Gas-gas ini menyumbang kurang dari 1%, tetapi tingkat pemanasannya jauh lebih tinggi dibandingkan CO2, NO2, maupun CH4. Tingkat pemanasan ini ditunjukkan oleh indeks potensi pemanasan global. Dalam indeks ini CO2 digunakan sebagai parameter.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
2.2.2 Efek umpan balik
Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
2.2.3 Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.
2.2 Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.

2.3 Model iklim


Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan (pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.


Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat. Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.











BAB III
ISI
3.1 Dampak Pemanasan global
Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
3.1.1 Cuaca
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
3.1.2 Tinggi muka laut


Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
3.1.3 Pertanian
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
3.1.4 Hewan dan tumbuhan
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
3.1.5 Kesehatan manusia
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak.
Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
3.2 Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak semua ilmuan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
3.3 Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
3.3.1 Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
3.3.2 Persetujuan internasional
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.





























BAB IV
KESIMPULAN & SARAN

4.1 Kesimpulan
Pemanasan global merupakan akibat dari aktivitas manusia yang cenderung possibleistik (manusia dapat mengubah alam). Aktivitas ini lah yang memacu peningkatan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Kesadaran manusia akan lingkungan juga berpengaruh. Golongan manusia yang dikatakan pro lingkungan semakin lama semakin sedikit. Dengan banyaknya penebangan hutan secara liar, penggunaan kendaraan bermotor yang berlebihan, dan industri yang banyak dibangun. Akibat rusaknya lingkungan maka sering terjadi bencana alam yang sangat merugikan manusia.

4.2 Saran
Sebaiknya cara penanggulangan pemanasan global yang telah dibahas pada bab sebelumnya dapat dilakukan secara sungguh–sungguh oleh semua pihak pemerintah maupun masyarakat.













DAFTAR PUSTAKA


[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global, 27 September 2008.

[2]. http://langitbiru89.multiply.com/journal/item/15, 27 September 2008.