AFTA 2010
LYDIA ISKANDAR
11108173
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan Berkat dan Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah yang berjudul AFTA 2010 ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari AFTA terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Bapak dosen mata kuliah Teori Organisasi Umum 2, Bp. Nurhadi, serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa yang akan datang.
Bekasi, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Lahirnya AFTA.............................................................................................. 1
B. Tujuan AFTA................................................................................................. 1
C. Manfaat dan tantangan AFTA bagi Indonesia.............................................. 1
D. Jangka waktu realisasi AFTA......................................................................... 2
E. Skema CEPT...................................................................................................2
BAB II ISI
A. Menyongsong implementasi AFTA 2010...................................................... 5
B. Regionalosasi ekonomi di Asia Tenggara & kemunculan AFTA..................... 5
C. Menjadi ancaman......................................................................................... 10
D. Menjadi tantangan....................................................................................... 11
E. Fakta kondisi UKM di Indonesia................................................................... 11
F. Krisis ekonomi Regional............................................................................... 12
G. Prospek AFTA bagi Indonesia........................................................................13
H. Bertarung dalam lumpur AFTA......................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LAHIRNYA AFTA
AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk 1 mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.
Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.
AFTA diberlakukan secara penuh untuk negara ASEAN-6 sejak 1 Januari 2002 dengan fleksibilitas (terhadap produk-produk tertentu tarifnya masih diperkenankan lebih dari 0-5%). Target tersebut diterapkan untuk negara ASEAN-6 sedangkan untuk negara baru sbb : Vietnam (2006); Laos dan Myanmar (2008); dan Cambodia (2010).
B. TUJUAN AFTA
• Menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global.
• Menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI).
• Meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN(Intra ASEAN Trade).
C. MANFAAT DAN TANTANGAN AFTA BAGI INDONESIA
Manfaat :
• Peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia dengan penduduk sebesar +/- 500 juta dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam.
• Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi pengusaha /produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan barang modal dan bahan baku penolong dari negara anggota ASEAN lainnya dan temasuk biaya pemasaran.
• Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak dengan tingkat harga dan mutu tertentu.
• Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan beraliansi dengan pelaku bisnis di negara anggota ASEAN lainnya.
Tantangan :
• Pengusaha/produsen Indonesia dituntut terus – menerus dapat meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi dari produk ASEAN lainnya.
D. JANGKA WAKTU REALISASI AFTA
KTT Asean ke-9 tanggal 7-8 Oktober 2003 di Bali, dimana enam negara anggota Asean Original Signatories Of Cept For AFTA yaitu, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singpura, dan Thailand, sepakat untuk mencapai target bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 60% dan inclusion list (ii) tahun 2003; bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 80% dari inclusion list tahun 2007; dan pada tahun 2010 seluruh tarif bea masuk dengan tingkat tarif 0% harus sudah 100% untuk anggota Asean yang baru, tarif 0% tahun 2006 untuk Vietnam, tahun 2008 untuk Laos dan Myanmar dan tahun 2010 untuk Cambodia.
E. SKEMA CEPT
Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN.
1. Produk-produk apa saja yang tercakup dalam skema CEPT-AFTA ?
Semua produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian. (Produk-produk pertanian sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari skema CEPT).
2. Kapan pembatasan Kwantitatif dan Hambatan Non-Tarif dihapuskan ?
Pembatasan kwantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan non-tarif dihapuskan dalam jangka waktu 5 tahun setelah suatu produk menikmati konsensi CEPT.
3. Apakah ada klasifikasi produk dalam skema CEPT ?
ADA.Produk CEPT diklasifikasikan kedalam 4 daftar, yaitu :
• Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria sbb :
1) jadwal penurunan tarif
2) Tidak ada pembatasan kwantitatif
3) Hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.
• General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupandan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis. Ketentuan mengenai General Exceptions dalam perjanjian CEPT konsisten dengan Artikel X dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Contoh : senjata dan amunisi, narkotik, dsb.
• Temporary Exclusions List (TEL). Yaitu dartar yang berisi produk-produk yang dikecucalikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT. Produk-produk TEL barang manufaktur harus dimasukkan kedalam IL paling lambat 1 Januari 2002. Produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggaota ASEAN lainnya. Produk dalam TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-prodiuk yang tercakup dalam ketentuan General Exceptions.
• Sensitive List, yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products = UAP ) :
1) Produk-produk pertanian bukan olahan adalah bahan baku pertanian dan produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos tarif 1-24 dari Harmonized System Code (HS), dan bahan baku pertanian yang sejenis serta produk-produk bukan olahan yang tercakup dalam pos-pos tarif HS;
2) Produk-produk yang telah mengalami perubahan bentuk sedikit dibanding bentuk asalnya.
Produk dalam SL harus dimasukkan kedalam CEPT dengan jangka waktu untuk masing-masing negara sbb: Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2003; Vietnam tahun 2013; Laos dan Myanmar tahun 2015; Camodia tahun 2017. Contoh : beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh
4. Apa dimungkinkan suatu negara menunda pemasukan produk Temporary Exclusion List (TEL) kedalam Inclusion List (IL) ?
Hal ini dimungkinkan apabila suatu negara belum siap untuk menurunkan tarif produk manufaktur, namun penundaan tersebut bersifat sementara.
Keterangan mengenai hal ini diatur dengan Protocol Regarding The Implementation Of CEPT Scheme Temporary Exclusion List.
5. Dapatkan suatu produk didalam Inclusion List dipindahkan ke Temporary Exclusion List atau Sensitive List ?
Tidak dapat. Namun demikian, pasal 6 mengenai “Emergency Measures” dari perjanjian CEPT, mengatur bahwa negara-negara anggota dapat menunda sementara preferensi yang diberikan tanpa diskriminasi, apabila suatu sektor menderita kerugian atau menghadapi ancaman kerugian.
6. Kapan produk-produk dalam daftar sensitif dimasukan kedalam daftar CEPT-AFTA ?
Sejumlah kecil produk-produk pertanian bukan olahan, telah ditempatkan dalam SL. Produk-produk itu akan dimasukkan secara bertahap kedalam skema CEPT selambat-lambatnya tahun 2010. Produk-produk ini tarif akhirnya berkisar antara 0-5%, selain pembatasan kwantitatif (quantitative restrictions) dan hambatan non-tarif harus dihilangkan selambat-lambatnya tahun 2010.
7. Apa syarat suatu produk bisa memperoleh konsensi CEPT ?
a) Produk yang bersangkutan harus sudah masuk dalam Inclusion List (IL) dari negara eksportir maupun importir.
b) Produk tersebut harus mempunyai program penurunan tarif yang disetujui oleh Dewan AFTA (AFTA Council);
c) Produk tersebut harus memenuhi persyaratan kandungan lokal 40%.
BAB II ISI
A. MENYONGSONG IMPLEMENTASI AFTA 2010
Banyak pihak menantikan Januari 2010 dengan harap-harap cemas,karena pada saat itulah genderang perang “laissez faire” akan menggema di seantero Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi seribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China.
Berbagai reaksi, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai “terlalu memaksakan diri” bergabung dengan rejim perdagangan bebas tersebut, ramai menghiasi headline media-media massa utama di tanah air. Tak kalah lantang, kelompok-kelompok tertentu bahkan memvonis keputusan bergabung dalam AFTA sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin untuk direvisi kembali. Terkait dengan dinamika tersebut, artikel ini dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana kira-kira kesiapan Indonesia dalam AFTA+China yang implementasinya akan efektif sejak 1 Januari 2010 yang akan datang.
B. REGIONALISASI EKONOMI DI ASIA TENGGARA & KEMUNCULAN AFTA
Sejak tahun 1980an, terjadi serangkaian perubahan fundamental di dunia, antara lain :
1) Munculnya lingkungan ekonomi dunia yang kompetitif dan terjadinya perubahan cepat menuju ekonomi berorientasi pasar khususnya di Eropa eks-sosialis dan juga di Asia yang ditandai dengan adanya reformasi ekonomi melalui privatisasi,deregulasi dan liberalisasi.
2) Terjadinya revolusi teknologi informasi yang memungkinkan peningkatan secara luar biasa traksaksi perdagangan dan saling ketergantungan antar negara di dunia.
3)Meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di berbagai belahan dunia.
Pada saat yang sama, negara-negara Asia pada umumnya mulai menerima prinsip-prinsip liberalisasi yang disertai dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang berbasis daya tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya kesadaran di kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat kerja sama ekonomi guna menghadapi tekanan komparatif dari luar kawasan.
Berbagai kecenderungan tersebut kemudian mendorong para pemimpin negara Asia, khususnya negara-negara anggota ASEAN, untuk mendirikan suatu organisasi ekonomi regional di Asia tenggara. Setelah melalui serangkaian negosiasi dan perdebatan yang panjang, pada Millenium Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992, ASEAN yang saat itu masih beranggotakan 6 negara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) sepakat membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dalam rentang waktu 15 tahun dimulai sejak 1 Januari 1993.
Dengan adanya kawasan perdagangan bebas tersebut maka seluruh negara anggota ASEAN akan mengurangi hambatan arus perdagangan dan investasi antar mereka secara bertahap hingga tahun 2008 yang diletakkan dalam skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Vietnam yang bergabung dengan ASEAN pada tahun 1995 disusul oleh Laos dan Myanmar dua tahun kemudian serta Kamboja pada tahun 1999 secara otomatis tergabung dalam keanggotaan AFTA bersamaan dengan masuknya mereka ke organisasi regional tersebut.
Melihat latar belakang dibentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN, oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa keberadaan AFTA lebih dilandasi oleh tujuan ekonomi dan bukan tujuan lain seperti keamanan ataupun politik, di mana main goals-nya adalah guna menarik investasi asing langsung dalam rangka menopang pertumbuhan ekonomi di kawasan, mempertahankan keunggulan komparatif, serta untuk menjaga hubungan ekonomi dengan negaranegara partner utama Asia yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Disamping itu, seperti halnya organisasi serupa di kawasan lain, terdapat tujuan lain yang lebih spesifik yakni guna menggairahkan hubungan ekonomi dan perdagangan antar sesama anggota ASEAN yang sebelumnya menunjukkan level kurang menggembirakan (grafik 2).
Sekedar ilustrasi, sebagai sebuah kawasan ekonomi strategis, ASEAN pada tahun 1995 (sebelum bergabungnya Laos, Myanmar dan Kamboja) memiliki pangsa pasar lebih dari 420 juta jiwa, namun perdagangan antar anggotanya tidak pernah melampaui angka 20%. Sebaliknya, hubungan perdagangan negara-negara ASEAN justru lebih dominan dijalin secara unilateral dengan negara-negara partner di luar Asia tenggara, sehingga AFTA pada dasarnya dapat dilihat sebagai « stimulus » yang dimaksudkan guna mengintensifkan perdagangan internal antar anggota ASEAN.
Bergabungnya Cina dalam perdagangan bebas Asean atau Asean Free Trade Arean atau AFTA mulai 1 Januari 2010, mengkhawatirkan banyak pihak terutama kalangan produsen tekstil di dalam negeri, karena merasa tidak akan kuat bersaing dengan produk Cina yang harganya lebih murah. Pemerintah diharapkan mengambil langkah, agar industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri tidak kolap di buatnya.
Perdagangan bebas ASEAN sudah diputuskan berlaku 1 Januari 2010. Dan Cina dipastikan bergabung, lewat apa yang disebut dengan Asean Cina Free Trade Agreement atau ACFTA. Masuknya Cina dalam perdagangan bebas Asean ini meresahkan kalangan produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk Cina bebas masuk ke pasar Asean, termasuk Indonesia. Para produsen pesimis produk mereka akan mampu bersaing dengan produk Cina yang harganya jauh lebih murah.
Dampaknya perdagangan bebas ini sudah mulai dirasakan. Beberapa bulan terakhir, banyak produsen tekstil dalam negeri, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah, mulai mengurangi kegiatan produksinya, dan merumahkan ribuan buruhnya. Beberapa produsen bahkan memilih menjadi pedagang, karena lebih menguntungkan, dan minim resiko.
Karena itu kalangan produsen tekstil minta pemerintah menunda pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas dengan Cina ini. Keresahan para produsen ini, menurut para wakil rakyat di DPR sangat wajar, dan perlu menjadi perhatian pemerintah.
Menurut Anggota Komisi VI, komisi yang membidangi perdagangan dan industri, pihaknya sudah mengusulkan penundaan ini kepada pemerintah, karena faktanya, menurut Anggota Komisi VI DPR, Hendrawan Supratikno, Indonesia memang belum siap untuk bersaing dengan Cina, dan mengancam meningkatnya angka pengangguran di dalam negeri.
Bagaimana sikap pemerintah? Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, kepada wartawan Senin (04/01/10) kemarin mengatakan, mengahadapi ancaman Cina dalam pemberlakuan perdagangan bebas ini, pemerintah telah mengambil langkah, salah satunya dengan meninjau lagi pos-pos tarif yang selama ini menjadi kendala peningkatan daya saing industri tekstil di tanah air.
Pemerintah, menurut Hatta, juga telah meminta masukan kalangan dunia usaha, agar antara pemerintah sebagai regulator dan kalangan dunia usaha dapat melakukan langkah bersama, menghadapi era persaingan bebas di kawasan Asean itu.
Sebagai gambaran, selama ini daya saing industri tekstil dan produk tekstil domestik sangat lemah, karena beberapa faktor, terkait kebijakan pemerintah Indonesia, yang di sisi lain, justru menjadi kekuatan Cina dalam memasuki persaingan di pasar bebas Asean.
Pertama, tingginya suku bunga komersial yang menapai 14 persen, padahal di Cina hanya 6 persen.
Kedua, krisis energi yang sampai kini masih berlangsung di Indonesia, berdampak langsung pada mahalnya harga listrik.
Ketiga, masih rendahnya produktifitas ketenagakerjaan yang ada. Badan tenaga kerja PBB-ILO mencatat, produktifitas kerja Indonesia berada di peringkat ke-59 dunia, sedangkan Cina di posisi ke-31.
Keempat, tingginya biaya pelabuhan di Indonesia dan masih menggunakan mata uang dollar Amerika, padahal di negara pesaing, dapat menggunakan mata uang setempat.
Benarkah bergabungnya Cina dalam perdagangan pengangguran di dalam negeri. Tak semua sependapat dengan hipotesis itu.
Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan, Indonesia masih punya peluang untuk bersaing dengan Cina. Kinerja perdagangan Indonesia dengan 10 negara aAsean selama ini menunjukkan, Indonesia masih memiliki kekuatan daya saing.
Karena itu menurut Rusman, masuknya Cina dalam perdagangan bebas ini, harus dilihat dari dua sisi, ancaman juga sebagai peluang. Merujuk kinerja ekonomi tahun 2009, pemerintah memang optimis, laju perekonomian nasional akan mampu menghadapi goncangan ekonomi global. Kinerja ralisasi APBN 2009, mencatat prestasi luar biasa.
Realisasi defisit APBN 2009 mencapai 1,6 persen terhadap pendapatan domestik bruto, melampaui target sebelumnya 2,4 persen, dengan membukukan kelebihan pembiayaan anggaran sebesar 38 triliun rupiah. Capaian prestasi ini, menurut Hatta Rajasa, tidak lepas dari perkembangan kondisi ekonomi makro dan langkah kebijakan fiskal selama tahun 2009.
Karena itu Hatta yakin, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 mencapai 4,3 sampai 4,4 persen, yang merupakan peringkat ketiga dunia, dan akan meningkat lagi di tahun 2010. Demikian juga dengan inflasi, di mana selama 2009 dapat dikendalikan hingga 3 persen, yang merupakan inflasi terendah dalam 10 tahun terakhir.
Optimisme inilah yang, Senin kemarin juga disuarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka sesi perdagangan bursa pasar modal tahun 2010 di Bursa Efek Indonesia.
Bursa Efek Indonesia, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat ini menjadi yang terbaik di antara negara-negara yang tergabung dalam G-20, bahkan yang terbaik se asia tengara, dan nomor dua se Asia Pasifik.
Atas semua apaian di tahun 2009 inilah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono optimis, tahun 2010 dan di tahun-tahun mendatang, perekonomian Indonesia akan terus mengalami kemajuan, termasuk mencapai target-target pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, kalangan dunia usaha tak perlu pesimis, apalagi bersikap cengeng. Sikap optimis harus ditumbuhkan, karena seperti kata Kepala BPS Rusman Heriawan, berbagai ancaman, termasuk masuknya Cina dalam perdagangan bebas, harus pula dilihat sebagai tantangan untuk maju, dengan memaksimalkan semua peluang yang ada.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono di Makassar, Sabtu (2/1/2010), menyatakan kekhawatirannya terhadap pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN FTA-China). Sebab, kemungkinan itu akan mengganggu perdagangan domestik.
"Mudah-mudahan perdagangan domestik yang kuat tidak terganggu dengan AFTA, saya harap bisa ditunda karena bisa mengancam juga, mudah-mudahan bisa bertahap," ujarnya.
Seperti diberitakan, ASEAN FTA-China akan diberlakukan sejak 1 Januari 2010. Dengan demikian, semua produk China bebas masuk ke pasar ASEAN. Sejumlah kekhawatiran sudah disampaikan para produsen tekstil dan produk tekstil yang kemungkinan besar tidak mampu bersaing dengan produk China yang harganya murah.
Pada 2010, pihaknya diminta untuk melakukan koordinasi dengan seluruh departemen untuk melakukan pengendalian dan pengawasan pada program penurunan tingkat kemiskinan. "Pada 2009, tingkat kemiskinan nasional 14,5 persen, ditargetkan dalam lima tahun penurunan tingkat kemiskinan bisa ditekan hingga delapan atau 10 persen sesuai standar Milenium Development Goal Strategy (MDGS)," ujarnya.
Pihaknya mengapresiasi Pemerintah Sulsel yang dapat menekan angka kemiskinan jauh lebih rendah dari angka nasional. Menteri berharap, daerah juga mampu melakukan koordinasi dengan seluruh pihak untuk mengurangi dan jika memungkinkan menghilangkan kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan merupakan kesepakatan global dari 190 kepala pemerintahan yang menyepakati bahwa era pembangunan milenium angka kemiskinan pengangguran dan kelaparan di dunia dapat ditekan hingga 7,5 persen.
Fokus program kesejahteraan rakyat lainnya adalah peningkatan sumber daya manusia dan menghadapi penanggulangan bencana dan penyakit.
AFTA-CHINA 2010 benar-benar menimbulkan banyak pertentangan dari banyak kalangan, khususnya mereka para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ini dikarenakan Usaha Kecil dan Menengah merupakan salah satu pihak yang paling di rugikan dengan adanya AFTA-CHINA ini. Hal ini di karenakan para pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia belum semuanya siap “bertarung” dalam kancah dunia pasar bebas ini.
Kekhawatiran para pelaku usaha kecil dan menengah sangatlah beralasan, ini disebabkan dengan adanya pasar bebas ini dipastikan produk China akan membanjiri pasar di seluruh Indonesia, dan itu artinya produk-produk dari dalam negeri khususnya produk-produk usaha kecil dan menengah ini akan dipaksa untuk bersaing dengan produk-produk China yang terkenal dengan harga yang sangat murah dengan kwalitas yang lumayan bagus.
Sebelum diberlakukanya perdagangan bebas saja produk China sudah membanjiri pasar indonesia, jadi bisa dibayangkan bagaimana jika pasar bebas itu benar-benar di berlakukan di Indonesia pada tahun 2010 ini, tentunya benar-benar akan memberikan ancaman untuk para pelaku usaha dalam negeri khususnya pelaku usaha kecil dan menengah.
Dengan adanya AFTA-CHINA ini nantinya akan menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Di sisi lain hal ini bisa menjadi ancaman akan tetapi disisi yang lain ini bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan untuk dunia usaha di Indonesia untuk meningkatkan kwalitas dan harga yang ditawarkan dalam dunia usaha.
C. MENJADI ANCAMAN
AFTA-CHINA yang diberlakukan di tahun 2010 ini bisa menjadi ancaman jika kondisi pelaku usaha dalam negeri khususnya usaha kecil dan menengah belum memiliki kwalitas dan kemampuan dalam hal memasarkan produk mereka, lebih detailnya untuk pelaku usaha kecil di Indonesia masih banyak yang tidak memiliki kemampuan akan produk mereka, bagaimana pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia bisa memiliki produk yang berkwalitas dan di jual dengan harga murah seperti halnya produk China.
D. MENJADI TANTANGAN
Dengan adanya pasar bebas ini bagi sebagian kalangan dunia usaha, khususnya untuk mereka yang memiliki usaha yang memiliki kwalitas dan manajemen yang baik, dengan adanya pasar bebas ini bisa dijadikan tantangan bagi pelaku dunia usaha bagaimana mereka bisa bersaing secara sehat dengan produk-produk dari China sehingga pelaku usaha akan semakin menjadikan pasar bebas ini menjadi semangat dan modal untuk memotivasi mereka untuk selalu meningkatkan kwalitas dan harga produk mereka sehingga bisa terjangkau oleh konsumen.
Dengan adanya dua hal tersebut diatas sangatlah nyata bahwa dengan adanya pasar bebas ini termasuk ancaman atau tantangan tergantung dari kesiapan atau tidak kesiapanya pelaku usaha kita di dalam negeri. Karena ketika pelaku Usaha dalam negeri sudah kuat dna memiliki kwalitas terbaik dan dengan harga yg murah dan terjangkau pasar bebas ini tidak perlu dikhawatirkan.
E. FAKTA KONDISI UKM DI INDONESIA
Fakta dilapangan pelaku usaha kecil di Indonesia masih belum banyak yang siap dengan adanya pasar bebas ini karena pada kenyataanya pelaku usaha kecil kita kadang masih memiliki maslaah-masalah yang menyulitkan kelancaran nusaha mereka. Misalnya dari permodalan, pemasaran, sampai manajemen usaha mereka yang masih dikelola dengan kemampuan yang terbatas dan juga kurangnya bimbingan dari pihak pemerintah yang bisa meningkatkan kelancaran usha mereka.
Ada peran lain yang bisa kita lakukan untuk membantu menyelamatkan dan membantu usaha kecil dan menengah supaya pelaku UKM tidak bangkrut dan tetap berani bersaing dengan adanya pasar bebas dan membludaknya produk China itu, yakni dengan cara membuat sebuah gerakan bernama “AKU CINTA PRODUKSI INDONESIA” dengan gerakan ini diharapkan bisa membantu para pelaku UKM untuk tetap bisa bersaing dengan produk China.
Namun para pelaku usaha kecil dan menengah juga harus selalu dan terus meningkatkan mutu dan kwalitas mereka sehingga masyarakat Indonesia tidak kecewa dengan produk yang mereka beli dari produk Indonesia akan tetapi justru semakin bangga membeli Produk Indonesia karena Produksi Indonsia memiliki kwalitas yang sangat bagus dan harga yang murah dan terjangkau.
Dan untuk wujudkan itu perlu diadakan kerjasama dan koordinasi dari banyak pihak dari pelaku usaha keil dna menengah itu sendiri, Pemerintah dengan mengeluarkan bantuan dana khusus untuk pelaku Usaha Kecil dan menengah dengan bunga sekecil-kecilnya dan juga bimbingan secara terus menerus. Selanjutnya adalah peran masyarakat melalui Gerakan Cinta Produksi Indonesia adalah peran yang sangat baik dan bermanfaat sehingga jika ini terjalin dan berjalan dengan baik maka Indonesia akan berani berteriak “SELAMAT DATANG PASAR BEBAS”.
F. KRISIS EKONOMI REGIONAL
Sejak awal tahun 1990an, ekonomi Indonesia sangat sustainable dan attractive bagi investasi asing hingga terjadinya krisis moneter di Asia pada 1997. Selama tiga dekade sebelumnya, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 7% dan GDP riil rata-rata 7-8 % hingga tahun 1996. Pertumbuhan ekspor sangat sehat dan balance of payments dalam tataran aman, sehingga apabila dibandingkan dengan negara lain di lingkup regional, Indonesia adalah salah satu yang memiliki defisit anggaran paling rendah dan rasio cadangan devisa yang paling tinggi.
Trend positif tersebut berubah ketika terjadi gelombang moneter di Asia yang bermula pada tanggal 2 Juli 1997 ketika Bank sentral Thailand menyerah terhadap tekanan yang menyerang kurs nasionalnya.Thailand memutuskan untuk memotong tali yang menghubungkan Baht dengan US dollar sehingga memprovokasi jatuhnya Baht vis-à-vis US$. Beberapa hari kemudian, Filipina mengikuti langkah yang ditempuh Thailand. Dengan maksud memproteksi cadangan devisanya, Filipina melepaskan standard tukar mata uangnya--biasa disebut ‘peg’-- terhadap US$, sehingga Peso Filipina jatuh hingga sepersepuluh dari nilai sebelumnya.
Efek domino tersebut kemudian mempengaruhi Malaysia dan Indonesia beberapa waktu setelahnya. Pada Juli 1997, tekanan yang kuat terhadap kurs tukar Rupiah disambut dengan keputusan Bank Sentral Indonesia dengan menaikkan level peg tertinggi dan menurunkan level peg terendah hingga 12%. Namun, pertahanan atas rupiah tersebut hanya bertahan sebulan karena pada tanggal 14 Agustus 1997 Bank Indonesia memutuskan untuk menghentikan upaya mempertahankan diri dari gempuran moneter tersebut sehingga nilai rupiah tiba-tiba jatuh terhadap US$. Dalam beberapa minggu, nilai rupiah merosot dari 2.449 pada 30 Juni menjadi 3.800 per US$ pada minggu kedua Oktober 1997.
Badai ekonomi tersebut berlanjut pada tahun berikutnya. Pada akhir Mei 1998, kurs nilai tukar rupiah jatuh bebas pada level Rp.11.000 per US$ dari Rp 2.300 per US$ atau setara dengan sepertujuh dari nilai sebelum krisis. Sebagai konsekuensi, barang-barang impor menjadi luar biasa mahal dalam takaran rupiah, memicu penyerbuan barangbarang impor dan komoditas utama di pasar-pasar perkotaan. GDP riil menurun hingga 10-20%, inflasi mencapai 70-100%, pengangguran meningkat, dan kemiskinan menyapu hampir seluruh prestasi ekonomi yang dibangun selama tiga dekade sebelumnya. Masih lagi, pemerintah harus menghadapi persoalan lain yaitu jatuhnya harga minyak hingga hanya mencapai level 10-12$ per barrel.
Dapat dibayangkan kondisi keuangan negara pada saat tax revenue menurun drastis sedangkan expenditure meningkat tajam. Kondisi inilah yang dikenal sebagai era runtuhnya infrastruktur ekonomi Indonesia, sebuah tragedi yang sampai saat ini masih terus diupayakan pemulihannya. Krisis moneter tersebut sudah pasti mempengaruhi kesiapan masing - masing anggota ASEAN dalam menghadapi AFTA, namun cukup sulit untuk memprediksi kesiapan aktual peserta AFTA berdasarkan perspektif ini.
Terdapat paling tidak tiga alasan yang mendasarinya, yaitu: Pertama, masing-masing anggota ASEAN memiliki tingkat kecepatan recovery ekonomi yang bervariasi. Sebagai misal, Malaysia dan Singapura saat sekarang bisa dikatakan telah pulih hampir 100% namun Indonesia mungkin masih dikisaran 90% atau bahkan kurang; Kedua, menggunakan indikator yang ada sekarang akan menimbulkan bias mengingat beberapa negara masih berada dalam proses recovery sementara negara lain telah berada pada titik balik (berdasarkan teori conjunctur ekonomi), dan; Ketiga, seluruh negara anggota ASEAN mengalami krisis moneter, sehingga Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang terkena dampaknya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka analisis komparatif kapasitas Indonesia terhadap anggota ASEAN lainnya lebih difokuskan pada indikator-indikator pada sekitar awal berdirinya AFTA.
G. PROSPEK AFTA BAGI INDONESIA
Inti dari Common Effective Preferential Tarif Scheme (CEPT) dalam persetujuan AFTA adalah pengurangan berbagai tarif impor dan penghapusan hambatan non-tarif atas perdagangan dalam lingkup ASEAN. Hal ini membawa implikasi bagi Indonesia berupa perubahan harga relatif produk-produk Indonesia yang diekspor ke negara-negara ASEAN disamping akan menjadi insentif bagi masuknya investasi asing yang selama ini menjadi salah satu pilar untuk memutar roda perekonomian nasional.
Oleh karena itu, dalam hal ini profil perdagangan dan investasi Indonesia, dengan perbadingan profil negara-negara anggota lainnya, sangat penting diketahui guna melihat sejauh mana AFTA akan membawa dampak positif bagi Indonesia. Pertama dan yang paling penting dalam sistem ekonomi pasar adalah perdagangan.
Sementara itu, dalam transaksi perdagangan di kawasan, sepertinya Indonesia tidak bisa berharap terlalu banyak. Terlebih jika mengingat bahwa produk kayu lapis dan plywood berbahan dasar kayu hutan, dan bukan rahasia lagi bahwa luas hutan di Indonesia mengalami penyusutan yang sangat drastis dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, secara ekonomi produk tersebut tidak akan dapat dijadikan produk andalan dalam jangka menengah apalagi jangka panjang, mengingat semakin langkanya bahan baku kayu.
Hal lain yang menghambat peningkatan volume perdagangan intra regional dan pada gilirannya kurang menguntungkan Indonesia khususnya, adalah fakta dimana produk-produk ekspor andalan negara anggota AFTA secara umum lebih bersifat ‘subtitutif’ daripada ‘komplementer’, dalam arti produk-produk yang dihasilkan cenderung serupa sehingga sulit diharapkan agar masing-masing anggota dapat menyerap produk mereka satu sama lain. Bahkan di pasar produkproduk mereka akan bersaing dan dapat mematikan produk yang tidak unggul secara komparatif. Seperti terlihat pada tabel, dari seluruh anggota AFTA hanya Singapura yang relatif memiliki produk unggulan berbeda, yaitu di sektor-sektor menyangkut penggunaan teknologi elektronik dan informatika, sisanya lebih menekankan pada pertanian dan hasil alam.
Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana agar di dalam pelaksanaan AFTA negara anggota yang kurang memiliki variasi produk unggulan tidak tenggelam dalam persaingan, dimana hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan awal dibentuknya organisasi ini. Tantangan inilah diantara yang harus dijawab oleh AFTA dan anggota-anggotanya, khususnya Indonesia. Apabila pemerintah mampu memecahkan persoalan ini dan dapat secara jeli memetakan dan kemudian memanfaatkan pasar regional ASEAN yang saat ini mencapai lebih dari setengah milyar jiwa, terdapat dua peluang besar terbuka bagi Indonesia terkait dengan perdagangan, yaitu kesempatan untuk fully-recovered pasca krisis ekonomi; dan yang kedua adalah kesempatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang stabil dan signifikan sebagaimana yang terjadi pada periode tahun 1970an hingga menjelang krisis ekonomi 1997.
Di sisi lain, dengan adanya pengurangan hambatan dan tariff perdagangan, sudah barang tentu akan terjadi peningkatan volume transaksi perdagangan antar anggota AFTA, namun muncul pesimisme bahwa peningkatan tersebut akan mencapai jumlah yang signifikan dan mampu bertahan dalam waktu yang lama. Sejauh ini kekhawatiran tersebut memang belum cukup terbukti dan memang untuk sementara ini secara umum AFTA telah menunjukkan efektifitasnya. Sebagai misal, pada tahun 1994, setahun setelah percobaan implementasi AFTA, total perdagangan ASEAN dengan dunia tumbuh sebesar 21% (dari US$ 448 milyar pada tahun 1993 menjadi US$ 543 milyar pada tahun 1994, dan perdagangan Intra ASEAN juga meningkat dari US$ 89 milyar tahun 1993 menjadi US$ 110 milyar tahun 1994 atau naik sebesar 24%.
Terlebih mengingat keunggulan komparatif bukanlah satu satunya indikator penentu keberhasilan perdagangan suatu negara. Namun demikian tidak ada salahnya, khususnya bagi Indonesia, untuk memperkirakan berbagai kemungkinan di masa datang di dalam AFTA, dan yang lebih utama lagi guna meyakinkan manfaat organisasi ini bagi masing-masing anggotanya. Selain perdagangan, yang juga vital adalah investasi. Ketika Sukarno memerintah mulai awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1960an, perekonomian nasional dirangsang dengan fiscal stimulus yang dibiayai dengan cara mencetak uang dan mendevaluasikan mata uang. Akibatnya terjadi inflasi yang parah hingga mencapai 1,500 persen disertai dengan langkanya barang-barang produksi dan meroketnya pengangguran.
Ketika Suharto mulai memerintah pada tahun 1966, strategi ini dirubah 180 derajad. Perekonomian nasional disusun berdasarkan program nasional terencana dengan rentang waktu 5 tahun dengan menekankan pertanian dan hasil alam sebagai mesin penggeraknya. Mulai tahun 1986, seiring dengan kuatnya tekanan ekonomi yang berorientasi pasar dan kebijakan ekonomi nasional Indonesia yang memperlebar peran swasta dalam perekonomian, investasi asing langsung mulai mengambil peran menentukan dalam pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia.
Pada tataran yang lebih teknis, untuk menggerakkan perekonomian diperlukan capital yang pembiayaannya dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya pendapatan pemerintah, investasi, tabungan, atau dengan privatisasi aset-aset negara. Namun diantara sumber-sumber tersebut, yang paling mudah, praktis, efektif, dan memungkinkan bagi Indonesia saat ini adalah investasi karena disamping sifatnya yang langsung, sumber-sumber pembiayaan lain masih sulit diandalkan. Krisis multidimensional terburuk dalam sejarah Indonesia pasca-1998 telah mengurangi secara drastis kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Pada saat yang sama, tuntutan pihak-pihak donor agar pemerintah Indonesia memperkecil defisit anggaran biaya negara sebagai prasyarat pengucuran paket bantuan, telah meniadakan kemungkinan pemerintah memberikan stimulus fiskal dari sumber APBN. Usaha pemerintah yang memprivatisasi perusahaanperusahaan milik negara sejak tahun 1999 memang cukup membantu mengangkat perekonomian, tetapi masih jauh dari target yang diinginkan; dan, kedua, investasi berperan sebagai sarana untuk memfasilitasi terjadinya transfer kemampuan dan tehnologi yang biasanya menyertai investasi. Keuntungan kedua ini memang tidak cukup mendesak dalam jangka pendek bagi Indonesia karena prioritas recovery economy tentunya lebih utama dan pada periode boom investasi sejak tahun 1980-an transfer kemampuan dan tehnologi tersebut telah terjadi, bahkan sempat membawa Indonesia pada status negara semi industri di kawasan Asia.
Namun dalam jangka menengah pasca krisis, penguasaan Indonesia atas teknologi khususnya tehnologi produksi akan sangat vital apabila tidak ingin ditinggalkan oleh negara lain di kawasan. Apalagi dengan pesatnya perkembangan tehnologi informasi yang demikian dahsyat selama satu dekade terakhir. Namun ternyata tidak mudah bagi Indonesia menarik minat para investor asing untuk masuk ke Indonesia. Meskipun gebrakan - gebrakan pemberantasan korupsi, reformasi hukum, dan good governance semakin gegap gempita digalakkan, hingga saat ini trend investasi asing langsung masih menunjukkan grafik naik turun.
Berbagai upaya menarik kembali para investor telah dilakukan pemerintah, seperti misalnya restrukturisasi sistem perbankan nasional, perbaikan sistem hukum, dan privatisasi asset negara. Namun sejauh ini berbagai upaya tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan dan mungkin adanya kekhawatiran akan efektifitas kebijakan desentralisasi yang digulirkan sejak tahun 2001 tampaknya merupakan penyebab Indonesia belum cukup menarik di mata investor.
Di sinilah tampaknya Indonesia akan berharap banyak dengan keberadaan AFTA. Tidak dapat dipungkiri bahwa AFTA secara tidak langsung telah menjadi penghubung yang dapat diandalkan antara kawasan Asia Tenggara dengan dunia luar. Potensi pasar kolektif yang demikian besar dan pertumbuhanekonomi yang relatif signifikan selama beberapa dekade terakhir memungkinkan hal tersebut dapat terealisasi. Jika selama masa sebelum berdirinya AFTA, tiap-tiap anggota cenderung bergerak secara individual, sehingga dalam perekonomian dunia secara keseluruhan mereka kurang memiliki daya tawar signifikan, maka dengan keberadaan AFTA tiap-tiap anggota, atas nama kolektif, dapat “memaksa” dunia luar untuk lebih berpihak pada kepentingan mereka.
Singkatnya, keberadaan AFTA diharapkan akan mampu meningkatkan daya tawar masing-masing anggotanya terhadap dunia luar kawasan sekaligus meningkatkan image di mata investor. Sebagai konsekuensi logis sistem perdagangan bebas, Indonesia sudah barang tentu akan dihadapkan pada negara-negara partner ekonomi di dalam organisasi AFTA yang menjanjikan berbagai peluang keuntungan, namun pada saat yang sama Indonesia juga akan mempunyai pesaing-pesaing baru karena prinsip perdagangan bebas (yang menjadi landasan AFTA) akan mendorong tiap-tiap anggota untuk memperbesar keunggulan komparatif masing-masing, di mana pada akhirnya hanya negara yang punya keunggulan komparatif terbesarlah yang cenderung meraih keuntungan optimal. Dalam keragka ini, perlu kiranya kita melihat profil makro ekonomi Indonesia dan negara-negara partner, sehingga kita akan dapat melihat sampai dimana sesungguhnya kesiapan Indonesia dibandingkan dengan anggota lainnya dalam free market di Asia Tenggara.
Sehubungan dengan hal itu, analisis berdasarkan datadata pada tabel 2 kiranya cukup memberi gambaran obyektif. Pertama berdasarkan indikator penapatan perkapita dan pertumbuhan GDP tahun 1970 -1997. dari pendapatan perkapita tahun 1995, di situ tampak bahwa Indonesia bersama sama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam termasuk negara miskin di kawasan, bahkan dalam daftar masuk urutan ke dua terbawah setelah Vietnam atau setara dengan sepertigapuluh pendapatan perkapita Singapura. Jika mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam mulai dari minyak hingga kekayaan tropis yang beraneka ragam, kenyataan ini terkesan kontradiktif dan memprihatinkan.
Disamping karena besarnya jumlah penduduk, tentu ada faktor-faktor lain yang tidak perlu diuraikan dalam tema ini. Sementara pertumbuhan GDP relatif stabil dari tahun ke tahun dengan rata-rata 7.3% pertahun. Berdasarkan indikator ini, dibandingkan dengan negara anggota lainnya,Indonesia bisa dibilang cukup siap, setara dengan Malaysia dan Singapura. Begitu pula dengan saving ratio dan investasi, dimana Indonesia termasuk yang cukup berhasil menggalang saving dan investasi dengan ukuran rata-rata anggota AFTA. Yang mengkhawatirkan dan selalu menjadi bahan pemikiran para pakar ekonomi Indonesia adalah persoalan hutang luar negeri, dimana jumlahnya telah mencapai angka diatas 50% dari GDP.
Angka tersebut hingga 1997 sebenarnya telah masuk dalam kategori “kritis” berdasarkan ukuran ekonomi, namun krisis ekonomi yang diikuti dengan penurunan secara drastis nilai tukar rupiah pada kurun waktu 1997-1999 telah membengkakkan hutang negeri Indonesia yang mayoritas dalam bentuk US$ (Sebagai catatan: di antara anggota AFTA, hanya Indonesia, Vietnam dan Filipina yang dicekam persoalan hutang luar negeri). Serangkaian kebijakan telah diterapkan, termasuk rescheduling hutang luar negeri dan konversi capital. Akan tetapi dengan cara ini bukan berarti persoalan hutang luar negeri telah selesai karena recheduling hutang pada dasarnya hanya merupakan upaya penundaan kewajiban dan bahkan justru dapat memperberat perekonomian Indonesia di masa setelahnya.
Hal ini-lah yang sebenarnya menjadi tugas terberat tim ekonomi pemerintah yang saat ini masih harus terbebani oleh persoalan-persolan semi-politis. Persoalan inflasi juga tak kalah pelik. Seperti tampak pada tabel 3, dapat diasumsikan bahwa budaya inflasi telah melekat dengan Indonesia. Sejak tahun 1990, inflasi selalu mencapai angka hampirdua digit. Apabila dianalisa, fenomena inflasi tergolong unik. Berdasar teori ekonomi, inflasi terjadi karena suplay barang dan jasa yang lebih rendah daripada uang beredar. Namun yang dominan terjadi di Indonesia adalah inflasi rutin menjelang hari-hari besar agama tiap akhir tahun. Jadi inflasi lebih di picu oleh ekspektasi inflasi oleh masyarakat.
H. BERTARUNG DALAM LUMPUR AFTA
AFTA bagi Indonesia adalah pisau bermata ganda. Di satu sisi, perdagangan bebas menyediakan sederet peluang dan harapannamun di sisi lain berpotensi menggilas yang tidak siap melalui persaingan tanpa ampun. Beberapa hal, oleh karenanya perlu ditekankan mbali agar setiap kebijakan ekonomi ke depan dapat selalu diproyeksikan pada peningkatan daya saing sembari memperhatikan ketahanan ekonomi nasional, yaitu bahwa:
1) ketergantungan antar berbagai kekuatan ekonomi di kawasan akan semakin besar dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian domestik Indonesia, khususnya yang paling perlu diwaspadai adalah transaksi perdagangan dan arus investasi asing langsung;
2) melihat berbagai indikator yang ada, Indonesia tidak dapat berharap terlalu banyak dari AFTA kecuali Indonesia dapat menciptakan terobosanterobosan di bidang perdagangan secara cukup spektakuler. Keunggulan komparatif yang relatif rendah, kemiripan produk-produk ekspor andalan di antara sesama anggota AFTA, adalah antara lain yang mendasari asumsi ini;
3) Indonesia masih cukup dapat berharap banyak dari transaksi perdagangan unilateral maupun perdagangan melalui media lain seperti APEC, dimana partner-partner dagang tradisional Indonesia berada. Namun hal ini bukan berarti Indonesia harus meninggalkan AFTA karena bagaimanapun AFTA adalah fenomena regional yang menyiratkan lebih banyak ketidakpastian apabila dihindari. Belajar dari pengalaman Inggris dalam konteks masyarakat ekonomi eropa, yang kiranya perlu dilakukan adalah menyiasati agar lahan yang sebenarnya “menjanjikan” tersebut dapat bermanfaat seoptimal mungkin bagi perekonomian nasional;
4) dibidang investasi, keberadaan AFTA menjadi penting bagi Indonesia untuk menarik kembali sepenuhnya capital flight yang terjadi selama periode krisis ekonomi. Oleh karenanya, disamping perlu menciptakansuasana kondusif di dalam negeri, Indonesia juga perlu semakin aktif melakukan promosi keluar.
Meskipun faktor kekayaan alam yang melimpah serta jumlah pasar yang besar (210 juta orang) secara natural akan memposisikan Indonesia sebagai lahan subur bagi investasi, namun perlu diingat bahwa investasi selalu bergerak berdasarkan motivasi profit dari revenue. Perlu diingat bahwa negaranegara lain seperti China, India, Thailand, Vietnam, dan bahkan Kamboja dapat menjadi lebih menarik di mata investor jika Indonesia tidak jeli menangkap peluang yang ada.
Dalam rangka ini AFTA tampaknya akan dapat diandalkan sebagai mediator yang efektif. Akhir kata, impian untuk menjadi kekuatan ekonomi yang solid di kawasan Asia Tenggara dengan berbasis pada kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk (pasar) yang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang stabil tampaknya masih memerlukan kerja keras dan kecerdasan extra. Menurut teori pembangunan terencana Suharto dan berbagai fakta pertumbuhan selama masa pemerintahannya, semestinya Indonesia sudah berada dalam tahap tinggal landas dalam artian telah lepas dari berbagai bentuk keterbelakangan ekonomi sekaligus confident dalam mengantisipasi fenomenafenomena strategis semisal perdagangan bebas.
Namun kenyataannya, memasuki tahun kesepuluh millenium kedua ini Indonesia masih berjuang dengan krisis-krisis multidimensi yang tidak hanya cenderung melemahkan performance ekonomi melainkan juga meniadakan kemampuan untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada sekaligus menyisakan perasaan khawatir akan terlindas roda ekonomi global yang semakin hari semakin berputar cepat.
DAFTAR PUSTAKA
2010,http://www.google.co.id
2010,http://id.wikipedia.com
2010,http://www.kompas.com
2010,http://www.detik.com
Sands Casino: The Legacy Of The Desert
BalasHapusSands Casino: The 인카지노 Legacy Of 메리트 카지노 The Desert. Play Slots, Blackjack, Roulette & More. Find your favorite casino games and slot machines at the Sands septcasino Casino.